tujuh belas

979 39 0
                                    

Shella lewati lorong putih gading dengan langkah cepat. Wajahnya resah, menoleh kiri-kanan. Begitu dia dapati seorang wanita duduk di kursi penunggu di ujung sana, dia percepat larinya. Lantas dia duduk di samping wanita itu. Menggenggam erat tangannya yang dingin, basah oleh air mata.

"Shel ...."

"Mami. Evelyn kenapa?"

Wajah lelah Aleya menutupi guratnya yang masih muda. Mata bengkak itu sudah dilengkapi kantung mata. Cukup pedih melihatnya. Membuat Shella harus memeluk wanita itu sejenak.

Usai melepas pelukan, Shella bertanya lagi. Belum bercerita, Aleya sudah menangis lebih dulu.

"Mami pikir Mami udah berhasil ngerawat Eve. Mami pikir dia udah mulai berangsur pulih. Tapi ... ternyata ... Mami salah. Dia udah coba mulai ketawa di depan Mami. Tapi, kenapa ...." Aleya terisak. "Kenapa ... kenapa, dia coba ngakhiri hidup?"

Lorong kian diisi isak tangis Aleya.

Shella berusaha menahan air matanya supaya tidak turun. Dia harus jadi pelakon penenang detik ini. Dia usap punggung wanita itu, menenangkannya. Selesai menangis, Aleya kembali menjadi dirinya yang asli. Memasang wajah tegar dan menampilkan keramahan.

"Mami nemu ini di meja belajarnya," kata Mami seraya merogoh sebuah amplop dari dalam tas yang tergeletak di sampingnya. Menyerahkan amplop itu pada Shella. "Buat kamu."

Shella lihat amplop di tangannya. Terpampang nama dirinya di sana.

"Mami ke toilet dulu."

Shella mengangguk. Tinggallah dia sendiri. Bermenung menatap amplop itu sejenak. Dia coba buka, menarik sehelai kertas berlipat di dalamnya. Membaca isinya.

Hanya ada beberapa kalimat.

Dear, Shella.

Rasanya bakal seneng banget kita bisa lulus bareng tanpa ada masalah melodrama gini ya kan Shel? Lo ingat kan pernah ngomong kayak gitu? Sori ya, gue udah ngancurin harapan lo. Ternyata gue nggak sekuat itu.

Maaf ya, selama ini gue nggak ada guna.

I love you.

Shella masukkan kembali kertas itu ke dalam amplop, lalu menyurukkannya ke dalam tas. Dia beranjak, berjalan mondar-mandir di depan pintu kaca UGD yang tertutup rapat. Kemudian bergeming begitu teringat akan sesuatu.

Kembali Shella hampiri tasnya. Mengambil ponsel. Menghubungi seseorang.

"Albert," ucap Shella sedikit bergetar. "Evelyn ... bunuh diri."

**

Shella sengaja basah di bawah hujan yang tak terlalu deras. Riak air laut di samping kirinya tak menarik perhatian. Sebelah tangannya mengusap pagar pembatas seiring dia berjalan. Taman rumput di samping kanannya sepi akan anak-anak.

Malam semakin larut. Lucu melihat seorang gadis tajir seperti dirinya hanya berjalan kuyup tanpa dijemput oleh mobil mewah dan sopir pribadi.

Padahal Albert sudah seserius itu ingin mengantar Shella pulang.

Mengenang kejadian saat di rumah sakit tadi, sebenarnya, Albert sama terlukanya dengan Shella. Cowok itu tengah diuji kesetiaannya. Tanpa Shella minta, Albert menawarkan diri untuk menunggu Evelyn di rumah sakit, memaksa Shella dan Aleya istirahat dulu. Di saat itulah Shella mencuri bincang dengan Albert. Mengatakan sesuatu.

"Gue tau organisasi lo bukan organisasi sembarangan. Gue udah minta tolong Davin, tapi kayaknya gue yang perlu ngadepin Erwin. Dan pastinya sebelum itu gue mau kerja sama lo."

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang