42

743 23 0
                                    

"Gue kaget lo tiba-tiba ke aula. Kemaren pas gue ajak lo malah kabur."

"Kan janjinya mau jenguk Evelyn. Eh malah main basket dulu."

Recky terkekeh. Dia dan Shella berjalan beriringan. Aspal disiram cahaya senja. Perumahan tampak sepi. Hanya sedikit kendaraan lalu-lalang. Angin berembus, mengusir ketegangan di dada Shella.

"By the way kabar Evelyn gimana? Kok dia belum hadir juga?"

Shella terpegun. Dia baru sadar bahwa ternyata pihak sekolah benar-benar menutupi kasus Evelyn, sesuai titah mutlaknya.

"Sakit. Di rumah sakit."

"Oh ya? Kok guru nggak ngabarin?"

Shella senyum. "Gue yang minta mereka buat tutup mulut."

Wajah Recky tampak takjub. "Enak yaa, pemegang saham terbesar."

Shella spontan melirik tajam. "Stop bilang itu atau gue gorok lo."

Gorok—kata brutal yang tak sepantasnya diucapkan kepada tersangka. Shella baru menyadarinya, membuatnya sedikit menggigit bibir untuk tidak lengah lagi.

Namun, cowok itu malah tersenyum dengan lembutnya. Senyum yang setara dengan lembutnya warna mentari senja.

"Kalo lo bisa, silakan."

Shella menelan ludah. Balas tersenyum, meski senyumnya aneh.

Persimpangan mulai tampak. Sebelah kiri menuju jalan raya, jalur Shella pulang. Sedangkan kanan ialah jalur pintas menuju stasiun kereta bawah tanah. Di sanalah babak penentuan pertama.

Mereka akan berpisah di sana. Kalaulah drama yang Shella buat tadi itu benar, maka pastilah Recky akan mengajaknya jalan-jalan hingga menjelang larut.

Memikirkan itu membuat Shella berdebar berjalan menuju persimpangan.

"Lo lagi free nggak?" Recky tetiba bertanya saat persimpangan sudah dekat.

Shella menelan ludahnya, lagi.

"Ng, free sih. Kenapa?"

Shella lihat Recky menoleh padanya. Berkata sambil tersenyum manis, "Ikut gue jalan-jalan yuk."

**

Senja mulai tenggelam, berganti gelap. Azan berkumandang. Begitu sepasang muda-mudi itu melewati masjid megah, Recky terpaksa ikut menghentikan langkah saat gadis berambut lurus itu tampak termangu melihat cahaya terang dari dalam masjid.

"Kenapa?" Recky senyum. "Mau ibadah dulu? Gue tungguin."

Sebenarnya bukan cahaya terang yang membuat Shella berhenti. Orang tua itu, pria dengan jubah putih yang baru saja masuk ke masjid itu, Shella merasa tak asing. Diakah imam besar di sini? Kalau iya, apa urusannya dengan Shella?

Shella merasa pernah melihatnya sebelum ini. Tapi, di mana?

"Shella?"

Tersentak dari lamunannya, Shella langsung mengibas tangan. Berjalan lebih dulu.

Pertama-tama Shella diajak ke kafe untuk makan. Recky yang traktir. Kedua, mereka memilih berhenti sejenak menikmati pantulan cahaya bulan di lautan. Karena di sana adalah jalur menuju rumah Shella, Recky lagi-lagi menawarkan diri untuk mengantar Shella pulang.

Shella harap Albert dan Leon sudah siap-siaga di rumahnya.

Jalanan sunyi. Shella lirik jam mungilnya, sudah hampir pukul sepuluh. Shella menyadari kelakuan samar Recky yang satu jam dua kali entah kenapa menatap sekeliling melalui lirikan matanya. Shella pura-pura tak tahu, tapi mencatat betul kejadian itu dalam kepalanya. Apakah Recky tengah memastikan tak ada orang yang melihat dirinya? Atau apakah dirinya memastikan bahwa dirinya tidak sedang diikuti oleh seseorang?

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang