tiga puluh lima

1K 42 0
                                    

Rambutnya halus, seperti dugaannya. Alis matanya jauh lebih tebal ketika disentuh. Bulu matanya panjang. Hidung dan bibirnya melengkapi kecocokan wajah. Benar-benar kombinasi yang sempurna.

Shella yakin Davin sudah terlelap setelah hampir satu jam dia mengusap rambutnya. Yang membuatnya kini enggan beranjak ialah; ada apa dengan air yang meluncur dari ujung mata cowok itu?

Shella dilema. Ingin membangunkan cowok itu, tapi tak mau mengganggu. Yang bisa dia lakukan hanya terenyuh. Bertanya-tanya, apa yang ada dalam mimpinya? Mungkinkah itu karena perih di lengannya yang belum hilang, makanya dia menangis?

Menangis? Cocokkah air yang meluncur dari ujung matanya yang terpejam itu disebut tangisan?

Kalau itu memang benar tangisan, Shella jadi ingin tahu apa yang membuatnya sedih. Shella ingin tahu masa lalu cowok itu. Shella ingin tahu traumanya, yang membuatnya memisahkan diri dari kenyataan saat kecil dulu, kemudian muncullah kepribadiannya yang lain. Shella ingin tahu lebih apa yang dia suka, apa yang tak dia suka. Shella, ingin mengenalnya lebih jauh lagi, meski dia sendiri tahu bahwa tidak semua kebenaran dari sosok Davin akan selalu menyenangkan.

Bahkan sebagian besar teramat menyedihkan.

Shella memang belum paham benar apa itu DID, bagaimana cara kerjanya, dan bagaimana dunia mereka. Tapi Shella berniat akan open minded dan terus belajar. Shella mengerti, kehidupan Davin tak sesepele yang dia bayangkan sebelumnya; mengira Davin hanya remaja biasa seumuran dirinya yang kali aja broken home, lalu penyendiri. Wajah rupawan dan sikap dinginnya hanya sebagai benteng. Cerdasnya dia sebagai pelengkap, supaya digelari Ice Boy di sekolah. Nyatanya, tak sesederhana itu.

Ada lubang hitam dalam sosoknya. Gelap, jauh, tak berujung. Untuk mengetahui siapa cowok itu sebenarnya, Shella jelas harus masuk ke lubang itu. Tak peduli dirinya bisa balik lagi ke permukaan atau malah tersasar, tak peduli material apa yang akan dia hadang, fokusnya memang hanya satu; cari tahu siapa Davin.

Walaupun dia apatis terhadap angan hidup bersama selamanya, setidaknya, kini, dia benar-benar ingin memiliki dan dimiliki, dengan dan oleh cowok itu. Hanya cowok itu. Tidak dengan yang lain.

Tapi, sialnya, cowok itu malah memutuskan sebaliknya. Menjauh darinya. Membuatnya sedikit.. takut. Apakah itu benar-benar akan terjadi? Kalau terjadi, apa yang akan dia lakukan?

Sanggupkah dirinya, untuk kehilangan lagi?

Shella tatap pedih wajah polos terlelap itu. Tak ada seringai. Tak ada sorot datar. Yang ada hanya gurat tenang meski air di matanya masih saja meluncur.

Kenapa, cinta, sebuta ini?

**

"Aku pulang."

Rachel, yang membuka pintu rumah dari dalam, terperangah. Tak percaya pada sosok di hadapannya.

"Shella adikkuuuuuu!!"

Shella pasrah ketika ditarik masuk dan dipeluk. Ketika Rachel menyudahi acara pelukan dan beralih menatap dirinya, Shella sebisa mungkin menyuguhkan senyum terbaik.

"Aku lega kamu baik-baik aja. Aku mau denger kamu cerita. Yuk kita masuk. Aku baru aja beli pizza."

Shella melepas mantelnya, menyisakan kaus marun dan rok plisket sedengkul. Lalu duduk di sofa, disusul Rachel dan segelas air hangat untuk Shella.

"Kamu abis dari mana? Bukannya Leon ngantar kamu ke sini dari tadi?"

"Iya. Aku dari rumah Davin." Shella letakkan gelas air ke meja kaca. Menatap wanita di sebelahnya. "Kakak gimana bisa masuk? Bukannya kunci aku yang megang?"

"Oh, aku punya duplikatnya. Nggak papa kan diduplikat?"

"Nggak papa. Santai aja."

"Jadi, kamu ngapain ke rumah Davin?" Rachel menatap Shella cemas. "Sebelum itu, kamu beneran baik-baik aja kan? Nggak kurang satu pun?"

"I'm totally fine," jawab Shella lembut. "Kakak nggak perlu cemas lagi."

"Syukur deh." Rachel membuka kotak pizza. Mencomot salah satu yang sudah dipotong. "So, kamu udah tau siapa Keith sebenernya?"

"Udah."

"Siapa kita sebenernya?"

"Hm."

Diam sejenak, sambil tetap mengunyah, Rachel bertanya lagi, "Gimana?"

Shella terkekeh. "Apanya Kak?"

"Nggak takut?"

Shella senyum. "Aku nggak normal kalo aku bisa nggak takut."

"Jadi?"

"Davin udah coba yakinin aku kalo kalian nggak bakal nyakitin aku dikit pun. Jadi, aku percaya."

Rachel mengangguk. Mengangkat kedua kakinya, memeluknya. "Davin bener. Nggak semua dari kita psikopat, yang ngasal bunuh asal senang. Kita punya target, dan target kita tuh juga bukan orang sembarangan. Nggak ada dari kita yang pernah ngebunuh pencuri yang nyuri roti di mini market. Nggak ada, karna kita nggak serendah itu." Rachel tersenyum hangat. "Sampe situ kamu paham kan sweetie?"

Shella paksakan tersenyum. Mengangguk.

"Kalo kamu nggak percaya, kamu bisa kok ngusir aku dari sini. Kamu berhak untuk nggak jalin hubungan lagi dengan kita. Tapi, kamu harus tau. Selagi kamu nggak ada ikut campur kerjaan kita dan tetep jadi seorang siswi biasa, kita bisa jamin, kamu nggak bakal kenapa-napa."

"Kalo aku, hidup bareng Davin, Kakak masih bisa jamin nggak, keselamatan aku?"

Pertanyaan yang tak disangka itu, pertanyaan yang jauh dari dugaannya itu, membuatnya terdiam. Bukanlah dia diam karena tak tahu jawabannya. Dia, diam, lantaran kaget karena sadar betapa dalamnya maksud pertanyaan itu.

"Setelah diculik dan tau siapa Davin sebenernya, kamu masih ada niat buat hidup bareng Davin?"

Shella tertawa. "Kenapa enggak?"

"Seserius itu?"

"Ya."

Rachel bungkam, mengatup bibirnya. Meraih mug tehnya yang sebelumnya terletak di meja. Meneguk tehnya itu, lalu meletakkannya kembali.

"Aku dukung. Banget malah. Tapi," Rachel tersenyum sedih, "aku nggak bisa jamin keselamatan kamu."

"Kenapa? Karna Keith?"

Rachel menggeleng. Meraih tangan Shella. Menggenggamnya lembut. "Ini bukan tentang sakit secara fisik, sweetie. Karna kayaknya Keith udah bisa diajak kompromi untuk nggak nyakitin kamu, kita percaya kalo kamu nggak bakal ngasal diculik lagi."

"Jadi?"

"Ini tentang, sakit yang sebenernya." Rachel menghela napas. "Keith punya prinsip, dia bakal pergi kalo misinya finish. Dan Davin juga bakalan pergi kalo Keith pergi. Entah itu dengan cara bunuh diri atau nyiptain kepribadian lain lagi. Kamu tau maksudnya apa?"

Dalam kagetnya, Shella menggeleng.

"Sesayang apa pun dia ke kamu..." Rachel elus pipi pucat gadis di depannya, tersenyum sendu, "dia bakalan pergi. Tetep bakalan pergi. Dan kamu.. kalo emang nantinya kalian barengan dan tiba-tiba pisah karna Keith udah nyelesain misinya, apa kamu bakalan kuat?"

Shella menghempas napas. Sulit percaya.

"Lebih baik kan, ngakhiri perasaan itu dari sekarang, ketimbang menderita nanti?"

Shella tepis pelan tangan Rachel dari pipinya. Bergeser sedikit jauh. Menatap meja sembari memijit jemari. Tampak seperti ingin menangis, namun berusaha urung. Memilih tersenyum.

Menoleh memandang Rachel. "Kakak, sampe sekarang, kenapa nggak nikah lagi?"

Rachel terenyak.

"Kakak belum bisa move on kan?" Shella menggigit bibir bawah. Tampaknya menahan bendungan air di matanya hanyalah kiat sia-sia. Senyumnya pahit ketika air matanya jatuh ketika berusaha mengatakan, "Kalo Kak Rachel udah berhasil move on dari mantan suami Kakak, segera kasih tau aku. Kasih tau aku gimana caranya Kakak, bisa lupa sama orang yang udah ngisi penuh hati Kakak selama ini."

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang