bagian satu // dia, ingat

2.2K 235 7
                                    

"Saya sudah nunggu kamu dari tiga jam lalu, loh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Saya sudah nunggu kamu dari tiga jam lalu, loh. Kenapa baru dikumpulkan sekarang?"

Pada akhirnya, pertanyaan yang tak ingin Linka dengar pun muncul dari mulut Bu Winda secara langsung. Sejujurnya Linka memang sudah memperkirakan hal tersebut. Tapi masalahnya, haruskah Bu Winda bertanya saat dua mahasiswa yang dibimbingnya masih berada di sana? Lihat saja sekarang, empat pasang mata itu hanya terfokus pada Linka seorang.

Linka memeluk kertas-kertas tugas di tangannya dengan erat. Jantungnya mulai berdegup tak nyaman. Ia menggigit bibir bawah sejenak sebelum membalas, "Maaf, Bu, tadi ada tiga orang yang tugasnya belum selesai, jadi saya harus nunggu mereka dulu."

Jika menilik dari raut wajah, tampaknya Bu Winda tak senang mendengar jawaban Linka. "Seharusnya, kamu nggak perlu nunggu mereka-mereka yang nggak bisa menyelesaikan tugasnya tepat waktu. Bukannya saya sempat bilang kalau saya nggak bisa mentolerir orang yang abai terhadap kewajibannya sendiri?"

Seketika Linka pun terbungkam, dan yang bisa ia lakukan hanyalah tertunduk dalam.

Bu Winda menghela napas panjang. "Sebagai penanggung jawab mata kuliah, kamu juga harus bisa bersikap tegas. Sifat nggak enakan sama orang lain ini memang berbahaya, dan kamu nggak bisa tetap pasang sikap seperti itu saat melakukan tugas kamu, Linka."

"Iya Bu, maaf," cicit Linka yang benar-benar tak tahu harus membalas seperti apa.

"Menjadi PJ matkul ini apa sangat membebani kamu, Linka?"

"Nggak sama sekali kok, Bu ...."

"Kalau memang begitu, kamu bisa intropeksi, 'kan? Dan perlu kamu ingat juga kalau saya nggak asal tunjuk kamu waktu itu. Saya percaya kalau kamu bisa, jadi, kamu betul-betul bisa saya percaya, 'kan?"

Kali ini, Linka memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Penuturan Bu Winda yang telah menaruh kepercayaan besar padanya serta-merta menimbulkan perasaan bersalah pun keinginan agar dapat segera ia perbaiki. Pasti sulit memang untuk bersikap tanpa melibatkan sifat pribadi, tetapi Linka betul-betul tak mau mengecewakan sang dosen.

Maka dari itu, dengan mencoba agar terdengar yakin, Linka pun berujar, "B-bisa, Bu. Ke depannya, akan saya usahakan supaya hal seperti ini nggak terjadi lagi."

Pada saat itu, akhirnya sebuah senyum bangga terbit di wajah Bu Winda. "Bagus," katanya sembari manggut-manggut. "Kalau begitu, sekarang coba kamu data ulang di meja saya. Tolong catat juga siapa yang terlambat mengumpulkan, karena pengurangan nilai pasti berlaku. Jangan lupa diurutkan sesuai NIM supaya saya lebih mudah untuk menilainya."

"Baik, Bu," Linka membalas patuh. Setelahnya ia pun lekas beranjak menuju meja Bu Winda sembari mengembuskan napas lega.

Sebetulnya Linka ingin kabur dari sana segera. Ia betul-betul malu sebab diceramahi tepat di depan kakak tingkatnya sendiri. Terlebih lagi, Zefran ada di sana. Kira-kira apa yang akan laki-laki itu pikirkan kala menyaksikan itu semua?

Ah, tidak. Yang seharusnya menjadi pertanyaan adalah: apakah Zefran peduli?

Sejenak Linka pun menoleh pada Zefran yang ternyata sudah kembali melanjutkan sesi bimbingannya, seolah percakapan Linka dengan Bu Winda tadi tak permah terjadi. Senyum pahit kontan terbit di bibir Linka karena ia dapat langsung menemukan jawabannya saat itu juga. Sang gadis pun mengembuskan napas panjang dan ia putuskan untuk fokus terlebih dahulu pada tugasnya sendiri.

Setelah semua selesai, Linka lekas melapor pada Bu Winda dan ia pun diperbolehkan untuk pulang bersamaan dengan usainya bimbingan. Belum sempat Linka benar-benar angkat kaki setelah keluar dari ruangan, rungunya tiba-tiba menangkap sebuah suara berat yang memanggil namanya.

"Linka?"

Dan saat Linka berbalik, ia menemukan Zefran sudah ada di belakangnya. Laki-laki itu kemudian menyunggingkan sebuah senyum hangat yang selalu menjadi favorit Linka. Tapi ... apakah Zefran benar-benar mengingat namanya, atau ia hanya tahu karena Bu Winda sempat menyebutnya?

"Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini," tutur Zefran dengan nada suaranya yang setenang jelaga. "Tadinya aku mau nyapa pas kamu masuk, tapi Bu Winda udah keburu manggil kamu."

Oke, jadi ... ia benar-benar ingat? Sungguh, Linka tak bisa percaya hal ini.

"I-iya, nggak papa, Kak," Linka menyahut, tapi setelahnya ia merutuki diri sendiri karena tak bisa memberi balasan yang lebih dari itu.

"Ah, omong-omong, menurut aku, bisa jadi salah satu orang yang dipercaya dosen kayak Bu Winda itu udah hebat banget, loh."

"Eh?"

Sekali lagi, senyum itu terbentuk. "Aku duluan, ya. Semangat, Linka."

Dan, selepas kepergian Zefran, Linka masih mematung di tempat. Sebab apa yang baru saja terjadi betulan terasa tidak nyata baginya.

* ੈ✩‧₊˚

bandung, 9 januari 2023

See You After Midnight [PUBLISHED]Where stories live. Discover now