bagian dua puluh enam // dia, tak berhak

868 111 4
                                    

Pagi ini Linka terlambat bangun, akibat dirinya betul-betul tak ingat bahwa hari ini ada satu mata kuliah tambahan selaku kelas pengganti dari jadwal yang semestinya sebab dosen yang berhalangan hadir

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

Pagi ini Linka terlambat bangun, akibat dirinya betul-betul tak ingat bahwa hari ini ada satu mata kuliah tambahan selaku kelas pengganti dari jadwal yang semestinya sebab dosen yang berhalangan hadir. Padahal beberapa temannya sudah mengingatkan di grup chat, tetapi sayangnya Linka yang tertidur lebih awal tak sempat melihatnya. Beruntung Putri meneleponnya beberapa kali karena Linka tak kunjung membalas pesan yang ia kirimkan.

Setelah selesai mandi dan kembali ke kamar, Linka dapat sedikit bernapas lega karena ia setidaknya masih punya waktu sekitar lima belas menit untuk bersiap sebelum berangkat ke kampus. Itu sudah lebih dari cukup, bahkan masih akan bersisa jika Linka menyelesaikannya dengan cepat.

Dan benar saja, Linka rupanya hanya membutuhkan waktu sepuluh menit--meski ia hanya bisa merias diri seadanya serta menyisir rambut panjangnya secara asal. Lantas tanpa menunggu lama lagi, ia lekas mematikan lampu kamar dan keluar dari sana. Namun, kala sang gadis baru pergi beberapa langkah usai mengunci pintu, ia baru tersadar kalau dirinya lupa mengambil sepatu.

Seraya menggerutu dalam hati, Linka buru-buru kembali ke kamar dan meraih sneakers putihnya di rak.

Tanpa Linka sadari, seseorang--yang kebetulan memang tengah berada di lantai satu--telah memerhatikan gerak-geriknya sejak mendengar pintu kamar yang terbuka. Barulah ia menghampiri Linka saat gadis itu duduk di sofa ruang tamu dan mengenakan sepatunya dengan cepat.

"Kamu kenapa buru-buru gitu, Linka?" tanya orang itu, Zefran, dengan kerutan halus yang terbentuk di dahi.

Linka kontan menoleh sebelum kembali melanjutkan kegiatannya, lalu ia berdiri seraya menyampirkan tali tote bag di bahu kanan. "Aku kesiangan, Kak," jawab Linka sekenanya. Meski terdengar tenang, tetapi tetap dapat ditemukan kepanikan di wajahnya. "Kalau gitu aku berangkat dulu, ya, takut makin telat."

Gadis itu lekas beranjak tanpa menunggu balasan Zefran. Namun, Zefran secara tak terduga malah menahan lengannya seraya berkata, "Bentar."

"Kenapa, Kak?" tanya Linka bingung.

"Aku anterin aja, ya?"

"Eh? Ng-nggak usah, Kak. Jalan juga masih sempet, kok."

"Tapi kalau pake motor kan bakal jauh lebih cepet, Linka."

"Ngga papa, Kak, nggak usah. Aku nggak mau ngerepotin Kakak."

Kali ini Zefran terdiam, dan kalau Linka tak salah lihat, ada secuil raut kekecewaan yang terbit di sana. Sang gadis pun turut tergeming seraya berpikir sejenak, sampai ia menyadari sesuatu yang salah di sini.

"Ngerepotin apanya, sih? Bukannya waktu itu aku udah pernah bilang, kalau kamu nggak perlu sungkan untuk minta tolong atau apa pun itu sama aku?"

Benar saja dugaan Linka. Itulah yang Zefran pikirkan saat Linka menolaknya begitu saja.

Linka lekas menggigit bibir bagian dalamnya. Kalau boleh jujur, Linka juga ingin sekali langsung berkata iya. Namun, sebuah pemikiran yang entah sejak kapan mulai bersemayam dalam benak membuat Linka hanya bisa menahan diri, tanpa tahu bahwa hal itu justru akan membuat Zefran merasa demikian. Perasaan bersalah pun segera menyerang Linka.

See You After Midnight [PUBLISHED]Där berättelser lever. Upptäck nu