bagian sembilan // dia, tak acuh

1K 138 4
                                    

Linka yang baru selesai sarapan langsung saja keluar dari kamar untuk mencuci piring bekas di dapur umum

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Linka yang baru selesai sarapan langsung saja keluar dari kamar untuk mencuci piring bekas di dapur umum.

Sebenarnya Linka tidak termasuk ke dalam tipe orang yang terbiasa dengan makan pagi sebelum beraktivitas oleh sebab beberapa alasan. Namun, hari ini agak berbeda karena Bu Dina tiba-tiba saja mengetuk pintu kamarnya guna mengantar sepiring nasi kuning beserta pelengkapnya yang memang ia buat khusus untuk seluruh penghuni kos. Tentu Linka tak mungkin menolaknya begitu saja, 'kan?

Selepas piring dan sendok tercuci bersih, Linka pun lekas saja membasuh sampai busanya hilang.

"Kak."

Suara berat yang muncul tanpa peringatan di dekatnya sontak saja membuat Linka terkaget, hingga ia tak sengaja menjatuhkan sendok di tangannya ke wastafel dan menimbulkan suara yang sangat jauh dari kata pelan. Linka tentu saja panik sebab takut mengganggu penghuni yang lain.

"Eh, maaf Kak, gue nggak ada maksud buat ngagetin lo, kok, suer!" Si pemilik suara yang ternyata adalah Erga tampak sama paniknya. Karena merasa bersalah, ia bahkan langsung melanjutkan pekerjaan Linka tanpa diminta sebelum mencuci piring bekas miliknya sendiri.

Linka kemudian memandang Erga dengan alis yang tertaut. "Lagian tiba-tiba muncul gitu aja," tukas gadis yang rambutnya dicepol itu, menyisakan poni tipis yang jatuh di dahi. "Tapi makasih loh, udah dilanjutin."

"Aduh, nggak perlu bilang makasih, Kak, ikhlas kok gue. Hehe."

Mendengar itu membuat Linka tak kuasa menahan senyum. Sosok Erga selalu mengingatkan Linka pada adik laki-lakinya sendiri yang kebetulan sebentar lagi akan masuk kuliah.

"Kak," panggil Erga yang mendadak terlihat malu-malu, "salting nih gue, kalau lo liatin gue kayak gitu terus sambil senyum."

Nah, inilah masalahnya. Erga tak melihat Linka sebagai sosok kakak perempuan karena pada suatu waktu ia dengan sendirinya mengakui kalau ia memiliki rasa ketertarikan terhadap Linka. Dan Erga bahkan mengatakannya ketika beberapa penghuni tengah berkumpul di ruang tamu sehingga langsung mengundang kehebohan saat itu juga.

Linka mulanya memang merasa tak nyaman. Namun, ketika Erga berulang kali meminta maaf dan berkata kalau ia sama sekali tak berniat untuk meminta Linka menjadi pacarnya, lama-kelamaan Linka mulai bisa menerima situasi tersebut. Erga pun memang tak pernah melakukan hal-hal aneh selain mengajaknya berbincang dan bercanda.

"Ya udah, nggak aku liatin lagi kalau gitu," ujar Linka yang saat itu memang ingin memasak air untuk menyeduh teh manis hangat.

"Eh, mau bikin apa tuh, Kak?"

"Teh manis."

"Wah, tolong nitip sekalian kalau gitu dong, Kak. Tapi gue pengennya milo, nih. Ada di lemari, tuh, satu renteng punya gue semua."

Mendengar itu, langsung saja Linka cek isi lemari di atasnya. Ia pun menemukan apa yang Erga maksud. Namun, mendadak keinginannya untuk membuat teh manis hangat hilang begitu saja.

"Kalau lo mau ambil aja, Kak," ujar Erga tak terduga, seolah ia bisa membaca apa yang tengah Linka pikirkan. "Semuanya juga nggak papa, deh. Ikhlas banget gue kalau buat lo."

"Ga, sumpah, geli banget gue liat lo yang mendadak bucin kayak gini."

Suara lain kemudian muncul, dan itu adalah milik Luki penghuni kamar atas, seorang kakak tingkat yang satu angkatan dengan Zefran. Ia datang sambil membawa gelas, lalu dibukanya kulkas bersama untuk mengambil sebotol air dingin.

"Linka, lo kalau nggak kuat langsung lambaikan tangan aja. Ini anak lama-lama nggak tertolong, nih," kata Luki pada Linka dengan wajah serius. Namun, Linka tahu pasti bahwa ia hanya bercanda saja.

Linka cuma terkekeh pelan karena jujur saja, ia masih merasa canggung dengan laki-laki yang satu itu akibat jarang bertemu.

"Sialan, gue masih waras ya, Kak!" seru Erga tak terima.

"Kalau gitu ya yang normal-normal aja, dong. Bisa-bisa Linka malah jadi males deket-deket sama lo, tau."

"Sembarangan aja mulut lo. Kak Linka mana ada tuh, ngerasa kayak gitu."

"Dalam hatinya, Ga, cuma dia nggak ngomong aja sama lo."

Erga seketika terdiam dengan wajah merengut, lalu ditatapnya Linka seolah meminta penjelasan. Linka hanya balas tersenyum geli seraya mengedikkan bahu, kemudian melanjutkan kegiatannya.

Luki pun kontan saja tergelak puas.

"Lo beneran ngerasa gitu, Kak?" Erga lekas mendekati Linka untuk mencari jawaban.

"Kalau iya, gimana?"

"... loh, beneran?"

Linka pada akhirnya terkekeh karena tak tega melihat ekspresi yang menyuratkan kesedihan itu. "Nggak, kok."

Wajah Erga seketika menampakkan kelegaan, dan setelahnya ia pun menggerutu panjang pada Luki.

Beberapa saat setelahnya, seseorang dari lantai dua kembali sampai di bawah.

"Eh, Zef, mau ke mana lo?"

Pertanyaan Luki membuat Linka lekas menoleh, dan ia pun menemukan Zefran yang sudah berpakaian rapi dengan tas ransel di punggungnya. Laki-laki itu lantas memerhatikan siapa saja yang dilihatnya di dapaur, lalu saat ia mendapati Linka, senyumnya langsung tersungging.

Linka tentu saja melakukan hal serupa, sebelum ia membuang muka untuk lanjut mengaduk minuman.

"Mau wawancara lanjutan, data penelitian gue masih kurang lengkap soalnya," jawab Zefran atas pertanyaan Luki. "Habis itu gue balik ke kampus buat diskusi sama dosbing gue."

Pembahasan mereka kemudian berlanjut dengan topik terkait skripsi masing-masing yang tentu tak begitu Linka pahami, begitu pula dengan Erga. Alhasil, adik tingkatnya itu pun kembali berbincang dengannya.

"Kak, lo hari ini kuliah jam berapa?"

"Aku ada kelas pagi."

"Sama dong, gue juga."

"Hmm ... oke?"

"Jadi, gimana kalau lo berangkat bareng gue hari ini?"

"Eh?"

"Sumpah, Kak, gue bukan mau modus. Gue cuma nawarin aja, biar bisa sekalian gitu loh."

"Hadeh, nih anak baru juga dibilangin udah bertingkah lagi aja," Luki tiba-tiba menimpali seraya dilayangkannya jitakan pada kepala Erga, membuat ia langsung mengaduh keras.

Mendengar hal itu, entah mengapa secara otomatis Linka langsung mengarahkan pandangan pada Zefran. Tapi sayang, ekspresi di wajahnya tak dapat Linka artikan. Padahal Linka sungguh ingin tahu sikap seperti apa yang akan ditunjukkan oleh Zefran. Namun, pada akhirnya Linka tetap mendapatkan jawabannya ketika Zefran buka suara.

"Tapi nggak ada salahnya juga sih, Ki, mending Linka bareng Erga daripada jalan kaki. Jarak kampus sama kos juga, kan, bisa dibilang lumayan."

Ah ... tentu saja. Mana mungkin juga Zefran akan cemburu, 'kan? Ia takkan peduli dengan siapa Linka pergi ke kampus asalkan Linka dapat tetap sampai di tujuan.

Senyum pahit Linka pun terbentuk. Sebenarnya apa yang ia harapkan, sih?

* ੈ✩‧₊˚


bandung, 23 januari 2023

See You After Midnight [PUBLISHED]Where stories live. Discover now