bagian tiga belas // dia, jujur

960 139 5
                                    

"Omong-omong, aku penasaran sama satu hal

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Omong-omong, aku penasaran sama satu hal."

"Soal apa, Kak?"

"Kamu kenapa milih buat pindah ke kosan ini, Linka? Maksudnya, bukan alasan kenapa kamu pindah, tapi, kenapa kosan ini?"

Sejak kepindahannya ke kos milik Bu Dina, dapat dikatakan ini adalah pertama kalinya Linka mendapat pertanyaan demikian. Dan ia tentu tak menyangka datangnya justru dari mulut Zefran, bukan penghuni lain. Lelaki itu bahkan dengan sendirinya mengungkapkan bahwa ia penasaran, bukan hanya ingin sekadar mengisi kekosongan dalam obrolan mereka.

Sambil menumpukan dua lengan yang dilipat pada dinding pembatas di tepi atap, Linka pun menjawab, "Umm ... karena jauh lebih murah? Itu alasan utamanya sih, Kak. Dan dengan harga segitu di sini udah dapat fasilitas yang lumayan, yang udah pasti menguntungkan buat penghuni kos. Aku emang sempet skeptis juga soal kosan ini yang campur putra-putri. Tapi setelah tau lebih dalam, itu udah cukup bikin aku yakin buat pindah."

Zefran di samping Linka manggut-manggut mengerti. "Yah, memang di sini agak beda sama yang lain. Walaupun kosan campur, tapi bukan berarti dikasih kebebasan juga untuk hal-hal tertentu. Tetap ada peraturan yang harus dipatuhi--yang kalau sekali aja dilanggar, pemilik kos nggak akan segan buat nyuruh mereka keluar. Terbukti, sih, selama hampir empat tahun aku di sini, nggak pernah ada tuh, kejadian yang aneh-aneh."

"Hm, aku emang nggak salah pilih kos berarti."

"Jadi, kamu udah mulai ngerasa betah di sini?"

"Betah, Kak. Orang-orangnya juga baik-baik kayak yang Kak Zef bilang. Mereka juga bisa nerima aku yang kayak gini dengan baik."

"... kayak gini gimana maksudnya, Linka?"

"Yah ... susah berbaur? Kakak sendiri tau aku orangnya pemalu. Kebanyakan orang-orang malah udah males duluan buat ngobrol sama aku karena itu."

Sesaat Zefran tergeming, dan Linka mulai menyadari kalau dirinya telah mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Naumn, baru saja Linka hendak kembali bersuara, tanpa diduga tawa ringan Zefran malah mengudara. Kerutan samar pun kontan tampak di dahi Linka.

"Kamu ngomong gitu seakan-akan punya sifat pemalu adalah sesuatu yang aneh, padahal itu manusiawi," tukas Zefran usai tawanya mereda. Kini tubuhnya telah menghadap Linka sehingga fokusnya pun hanya tertuju pada sang gadis. "Tapi kamu jangan sampe ngerasa rendah diri, oke? Kamu sebenarnya cuma perlu menemukan orang-orang yang tepat, yang nggak akan peduli mau bagaimana pun diri kamu, yang nggak akan mandang kamu berbeda."

Linka seketika tercenung dengan sepasang netranya yang terkunci pada Zefran. Senyum laki-laki itu kemudian tersungging, sebelum ia kembali memerhatikan suasana malam di depannya seraya menyugar rambut hitamnya ke belakang.

"Berarti, penghuni kos di sini termasuk orang-orang yang tepat ya, Kak?"

"Iya, jelas. Termasuk aku juga, jangan lupa."

"... eh?"

Zefran kembali menoleh dengan lengkungan yang masih bertahan di wajahnya. "Kamu sadar 'kan, kalau kamu mulai berani ngomong panjang lebar di depan aku? Contohnya aja sekarang ini, dan aku jadi sama sekali nggak bisa ngeliat sifat pemalu itu di diri kamu."

Sejak Linka setuju untuk menjadi teman bicara Zefran, mereka pun membahas segala hal meski mulanya didominasi perihal perkuliahan. Ada masa di mana Zefran mengajukan beberapa tanya, dan Linka terus saja menjawabnya hingga ia mulai terbiasa dengan situasi tersebut, membuat dirinya tanpa sadar telah berbicara lebih banyak daripada biasanya.

Pernyataan Zefran sebelumnya memang tidak salah sama sekali. Sebab benar, alasan utamanya tentu saja karena ia adalah Zefran.

Dan Linka merasa nyaman dengan laki-laki itu. Selalu, bahkan sejak percakapan perdana mereka berlaku.

Angin malam tiba-tiba saja berembus cukup kencang, membuat Linka lekas memeluk diri sendiri meski tubuh bagian atasnya sudah terlapisi sweater. Belum selesai dengan dingin yang menyerang, Linka serta-merta merasakan sesuatu yang masuk ke dalam matanya.

"Aduh ...." Linka segera menunduk dan mengerjap beberapa kali. Satu tangannya pun sudah bergerak hendak mengucek mata kanan, sebelum tiba-tiba tertahan begitu saja.

Pelakunya tak lain dan tak bukan ialah Zefran.

"Jangan dikucek, nanti malah tambah parah," tutur Zefran memperingati.

"Tapi perih, Kak ...."

"Iya, aku tau. Tapi kalau dikucek bakal tambah perih, Linka. Kamu coba kedip-kedip dulu, kalau nggak mempan baru harus dibantu pake air."

Pada akhirnya Linka pun hanya menurut saja. Ia mencoba terus berkedip sambil sesekali menyentuh mata kanannya meski ia sudah gatal sekali ingin mengucek. Namun, lama-kelamaan Linka merasa membaik, sesuatu yang masuk ke dalam matanya telah berhasil dikeluarkan--walaupun masih menyisakan sedikit rasa mengganggu saat ia mengerjap.

"Gimana? Udah nggak papa?"

"Iya--" Linka terperangah kala menyadari bahwa Zefran sudah berada tepat di hadapannya, dengan jarak yang menipis. Gadis itu pun cepat-cepat menghindari tatapan Zefran. "I-iya, nggak papa kok, Kak."

"Syukurlah kalau gitu."

"Iya ...."

Keheningan sejenak mengambil peran karena tak ada satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara lagi. Linka yang menyadari ada sesuatu yang aneh lantas kembali menengok pada Zefran dengan ragu-ragu. Di saat itu, Linka mendapati Zefran yang ternyata belum juga berpaling darinya. Ia masih setia menaruh seluruh atensi pada gadis di hadapannya.

Linka sontak saja jadi salah tingkah, tetapi ia berusaha keras untuk tak memperlihatkannya dengan melontarkan tanya, "A-ada apa, Kak?"

Zefran tak berkutik selama beberapa saat.

"Linka." Suara beratnya kembali terdengar, menyebut nama sang gadis dengan nada yang asing.

"... ya?"

"Aku nggak bohong, waktu aku bilang kalau kamu cantik."

Dan satu kalimat mengejutkan itu pun sukses membuat Linka tergeming panjang setelahnya.

* ੈ✩‧₊˚

anyway, ada yang penasaran sama pov-nya zefran ga sih?

kalau iya, tungguin aja bab selanjutnya okee 😁

bandung, 29 januari 2023

See You After Midnight [PUBLISHED]Where stories live. Discover now