bagian lima belas // dia, menolak

1K 136 2
                                    

Hari itu berakhir dengan canggung akibat Zefran yang tak bisa mengontrol ucapannya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari itu berakhir dengan canggung akibat Zefran yang tak bisa mengontrol ucapannya sendiri. Namun, Zefran sama sekali tak menyesal. Sebab ia memang ingin sedikit demi sedikit menunjukkan bahwa dirinya memiliki ketertarikan terhadap Linka. Entah caranya ini benar atau salah, tetapi yang jelas kalau Zefran tak melakukan apa pun selain diam, maka sampai kapan pun sang gadis takkan pernah sadar akan hal tersebut.

Zefran sebetulnya ingin tahu bagaimana reaksi Linka jika mereka kembali bersinggungan--entah di kos ataupun di kampus. Sayangnya, beberapa hari ini ia harus fokus terlebih dahulu dengan skripsinya, dan barangkali Linka pun disibukkan pula dengan kegiatannya sendiri. Zefran hampir tak pernah mendapati sosok gadis itu dengan mata kepalanya sendiri di dua tempat tersebut, dan ia pun bahkan tak terlihat di waktu dini hari seperti biasanya.

Pada akhirnya Zefran hanya dapat menunggu sampai kesempatan seperti itu kembali menghampirinya. Dan tanpa disangka, rupanya tak butuh waktu yang lama sampai kedatangannya tiba.

Pagi ini Zefran berniat pergi ke perpustakaan kampus guna mencari buku-buku tambahan yang disarankan oleh Bu Winda sebagai rujukan dalam skripsinya. Namun sebelum itu ia pergi keluar sejenak untuk mencari sarapan dan kembali sembari menenteng plastik hitam berisi bubur ayam. Dan, pemandangan pertama yang Zefran dapati kala ia menjejakkan kaki di kos adalah figur Linka yang tengah berada di dapur umum.

Tapi sayang, Linka rupanya tidak sendirian di sana. Persis di sampingnya, ada pula sosok Erga yang entah sedang melakukan apa.

Zefran kontan menghela napas dalam. Ia tahu soal Erga yang faktanya menyukai Linka. Yah, bagaimana tidak? Adik tingkatnya yang satu itu secara terang-terangan mengakuinya di hadapan hampir seluruh penghuni kos, dan Zefran tentu tak bisa berbuat apa pun terkait hal tersebut. Dan juga, apa yang dilihat Zefran saat ini bukanlah yang pertama kali, jadi seharusnya ia tetap dapat bersikap tenang seperti sebelumnya.

"Ini bener potongnya begini, Kak?" Erga terdengar melontarkan pertanyaan tersebut pada Linka.

"Kalau diiris seharusnya nggak begitu. Tipis-tipis aja. Itu kamu kegedean amat motongnya," sahut Linka di sampingnya.

Dan ketika Zefran sudah mendekati dapur umum, barulah ia tahu kalau Erga rupanya hendak memasak sesuatu, jika melihat dirinya tengah memegang pisau yang ia gunakan untuk memotong bawang merah di atas talenan.

"Argh, gue salah lagi dong berarti ini?"

"Masih bisa diakalin, kok. Kalau mau buat nasi goreng dicincang juga bisa, nggak harus diiris."

"Ih, kenapa lo nggak ngomong dari tadi aja sih, Kak?"

"Hehe. Maaf. Aku baru keingetan soalnya. Lagian kamu juga ngotot banget tadi kalau harus diiris."

Zefran kontan memiringkan kepala, heran. Mereka berdua sudah seakrab ini rupanya, ya? Apakah Zefran telah melewatkan sesuatu?

"Eh, Kak Zef?"

Kehadiran Zefran lebih dulu disadari oleh Erga, dan karenanya Linka pun turut menoleh. Gadis itu hanya geming, sebelum sebuah lengkungan yang tampak canggung terbentuk di bibirnya. Dan setelahnya, ia lebih memilih untuk melihat ke arah lain.

Ah, gawat, pikir Zefran. Ini pasti karena kejadian hari itu. Tapi, apakah mungkin Linka berniat untuk menghindarinya?

"Habis beli sarapan lo, Kak? Lo mau pergi ya, kayaknya?" Erga lanjut bertanya seraya berusaha mencincang bawang merah yang sebelumnya sudah ia potong secara asal.

Zefran mengangguk. "Iya, habis beli bubur, entar gue mau ke kampus," jawab lelaki itu sekenanya. Kemudian ia beranjak menuju rak dan mengambil satu mangkuk kaca. "Tumben-tumbenan lo masak begini, Ga?"

"Iya, Kak, habisnya semalem gue lupa kalau udah masak nasi, tapi gue malah beli makan di luar. Daripada kebuang, ya udah gue bikin nasi goreng aja."

"Hm. Bisa emangnya?"

"Wah, lo meragukan kemampuan gue, Kak?"

"Ya bukan gitu. Gue kan belum pernah liat lo masak sebelumnya, jadi ya mana gue tau."

"Kalau gitu lo harus cobain hasilnya nanti. Kak Linka, lo juga harus ikut nyicipin!"

Linka hanya manggut-manggut sebelum ia mencuci gelas yang dipakainya untuk minum tadi dan ia taruh kembali di rak. "Tapi aku ke kamar dulu ya, mau siap-siap buat ke kampus," ujar gadis itu. Usai Erga mengiakan, ia menengok ragu-ragu pada Zefran, dan setelahnya lekas beranjak meninggalkan dapur umum.

Meninggalkan Zefran dengan segala tanda tanya yang timbul dalam kepalanya.

Zefran kemudian lanjut menuangkan bubur ke dalam mangkuk. Tadinya Zefran memang berniat makan di kamar, tetapi pada akhirnya urung, dan ia pun membawa mangkuk berisi bubur tersebut ke ruang tamu untuk ia santap di sana. Sembari menikmati, sepasang netranya tak lepas dari pintu kamar Linka yang kebetulan memang berhadapan dengan sofa yang ia duduki, menanti hingga sang gadis kembali memunculkan diri.

"Sialan, asin banget nasgor gue!" Erga tiba-tiba menyeru keras setelah bermenit-menit ia habiskan untuk berperang di dapur.

Atensi Zefran pun lekas teralihkan. Ia kontan tergelak bersamaan dengan Erga yang duduk di sofa seberang, membawa sepiring nasi goreng hasil olahannya dengan wajah masam. "Lo masak nggak dicobain dulu apa gimana, sih?" tanya Zefran heran.

"Udah loh, Kak. Tapi tadi terakhir gue emang tambahin garam lagi karena kurang asin. Eh, ternyata malah kebanyakan."

"Yah, emang udah nasib lo berarti, Ga."

Tepat pada saat itu, akhirnya Linka keluar dari kamar dengan penampilan rapi serta tote bag yang tersampir di bahu kanan. Kedua kakinya sudah terlapisi oleh sepatu kets berwarna putih.

"Oh, udah jadi?" tanya Linka saat ia melihat piring nasi goreng di tangan Erga usai mengunci pintu kamar.

"Iya, tapi nggak perlu lo cobain, Kak. Soalnya gagal, jadinya keasinan," sahut Erga kecewa.

Linka mengembuskan napas pendek. "Hm, sebenernya bisa diakalin, ditambah lagi pake nasi putih buat menetralisir rasa asinnya. Tapi kayaknya bakal ribet lagi."

"Nggak mood banget gue juga buat masak lagi, Kak. Udahlah, gue mau tambahin beli lauk di luar aja." Jeda sejenak. "Lo mau bareng gue, Kak? Gue mau ke warteg yang di deket kampus soalnya."

Sontak saja tatapan Zefran beralih pada dua manusia di hadapannya. Lebih tepatnya, pada Linka, menunggu jawaban apa yang akan gadis itu berikan.

"Oh, atau nggak, lo bareng aja sama Kak Zef, Kak. Dia mau ke kampus katanya, tuh," ujar Erga lagi tanpa disangka-sangka. Kemudian ia pun beralih pada Zefran. "Iya 'kan, Kak?"

Zefran dengan cepat menelan suapan bubur terakhir. "Ah, iya, aku mau ke kampus habis ini, Linka." Ia berusaha keras menahan diri agar tidak langsung menawarkan tumpangan secara gamblang.

Sejenak Linka terdiam dengan raut yang tak terdefinisikan, berpikir, sampai akhirnya ia pun membalas, "Umm ... t-tapi aku mau ke kosan temenku dulu sih, dan kebetulan nggak jauh juga dari sini. Jadi, makasih tawarannya ya, Ga, Kak."

Ah ... jangan-jangan dia emang beneran menghindar, Zefran membatin, dan entah mengapa ia langsung dapat berasumsi demikian hanya karena Linka menolak tawarannya. Sebab kalau tidak begitu, tak mungkin Linka memerlukan waktu untuk menjawab pertanyaan sederhana seperti itu, tetapi tetap saja berakhir dengan terbata. Namun, apabila Linka memang betulan berkata jujur, maka Zefran tentu akan sangat bersyukur.

Yah, sudahlah, mau bagaimana lagi? Setidaknya Linka tak memilih satu di antara dua tawaran yang ia terima, dan Zefran pun merasa sedikit lebih lega karenanya.

* ੈ✩‧₊˚

bandung, 2 februari 2023

See You After Midnight [PUBLISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang