14 ; dingin

136 15 1
                                    

Hampir Maviel kembali meneteskan air matanya ketika melihat bagaimana kondisi Keval, pucat sayu tanpa daya terbaring di hospital bed dengan infus yang tertancap di punggung tangan kanan, belum lagi nasal kanul yang terpasang hidung bangirnya, apalagi yang bisa membuat Maviel sedih daripada itu?

Beberapa waktu lalu ketika mereka sedang dalam perjalanan sempat Keval mengalami kejang hingga Maviel sendiri terlampau takut hingga terisak keras, persetan dengan malu dan harga diri dihadapan ketiga kawannya, Keval nya sedang tidak baik-baik saja.

Maviel dudukan diri di sofa yang ada di ruangan inap milik Keval, dengan kedua tangan yang sibuk mengutak-atik ponsel miliknya, tersisa Hisyam juga Levon disana sebab David yang terpaksa lebih dulu pulang.

"Adin sialan, dia kabur."

"Lo yakin itu Adin?" Pertanyaan Hisyam yang mampu membuat Maviel mengalihkan pandangan, "maksud gue, siapa tau dia disuruh?"

Maviel menggeleng mantap.

"Dari dulu Adin emang nggak suka sama Keval, bukan. Adin itu terlampau suka sampe obses tapi dalam hal negatif, nggak mungkin ide orang lain."

"Lo udah kasih kabar Mama dia?"

Levon, tidakkah ada pertanyaan lain?

Gelengan Maviel berikan sebagai jawaban sementara karna memang kenyataannya ia belum memberitahu kepada wanita yang kerap kali Keval panggil dengan sebutan 'Unda' itu, bagaimana ia harus mengawali semuanya? Haruskah to the point atau perlu basa-basi terlebih dulu?

"Gue baru kasih tau Abang, itupun nggak ada respon. Tapi dia sempet bilang kalo Abang mau keluar kota, kemungkinan masih di perjalanan."

Hisyam mengangguk lantas beranjak.

"Gue mau nyari kopi, ikut, Von?"

Yang diberi tawaran menolak.

"Malas." Katanya.

Dengan begitu Hisyam mengangguk dan pergi seorang diri.

"Gue kudu nyari Adin kemana bangsat!" Ucap Maviel penuh rasa frustasi bahkan hampir kelepasan berteriak kalau saja tidak sadar ia tengah berada di ruang pasien.

"Gausah lo pikir nyari Adin kemana, itu urusan gue sama Dav. Lo pikirin aja caranya biar Abang Keval tau keadaan adiknya."

"Temen-temen dia belum ada yang tau?"

"Siapa?"

"Yang biasa, yang sama Rezvan juga itu"

Maviel menggeleng, lagi entah untuk yang keberapa kalinya.

"Dia tadi ngadu temen-temennya sibuk makanya dia mau keluar, liat sendiri di cctv tadi, jadi asumsi gue dia mau keluar tapi cek-cok dulu sama Adin, itukan yang kerekam."

"Laki-laki yang ada disitu waktu mereka cek-cok, siapa?"

"Gue nggak tau, simpenannya kali."

Setelahnya hanya hening yang ada untuk beberapa saat, sampai dimana tatapan Maviel terpaku pada Keval yang perlahan terlihat tengah berusaha membuka mata.

Ia bangkit dari sofa membuat Levon terheran sejenak, namun ketika Levon mengalihkan pandangan ke arah Keval, ia turut berdiri dari posisi.

Maviel mendekat ke sisi ranjang, dadanya berdenyut ngilu untuk beberapa saat, entah perasaan apa yang menyerangnya detik itu tapi ia merasa ingin menangis.

"Kev?"

Tak ada jawaban, hanya lirikan singkat sebelum mata itu kembali menutup lemas, nafas bocah itu sudah jauh lebih baik dibanding saat awal masuk ruang yang masih naik turun tak teratur namun terasa sangat cepat.

Asa Bumantara✓Where stories live. Discover now