23 ; ketemu

90 10 1
                                    

Kondisi di pemakaman terlihat kondusif, hanya saja memang masih terdengar isakan-isakan kecil dari mereka yang masih sulit untuk menerima kenyataan yang ada. Utamanya bunda, yang kini sudah kacau sebab menangis terlalu lama, tidak banyak yang Bahtiar bisa lakukan untuk menenangkan sang istri selain membiarkannya mengeluarkan tangisannya itu.

Selain bunda, di sana ada Jordan yang terus mengeluarkan air mata, terlebih saat ia melihat bagaimana tanah basah itu mulai menutup liang yang sudah terisi oleh raga kaku tanpa jiwa milik seorang Keval Adnan.

Ingin ia meraung keras jika tak mengingat kini keadaan sekitar masih ramai dan berduka.

Tubuhnya melemas dan berlutut pada tanah membuat Rezvan yang berdiri di sampingnya segera mengambil tindakan.

Sebenarnya lemas itu sudah ia rasakan semenjak tadi, sepanjang jalan ia mengangkat keranda Keval, mengantarkannya terakhir kali untuk pulang.

"Bohong dia, Van. Licik." Begitu ia mengadu dengan suara lirih.

"Udah Jo ikhlas, jangan gini."

Alih-alih tenang, Jordan justru dibuat semakin terisak, ia mulai meremat pigura dengan foto Keval di tangannya hingga buku jarinya memutih, dengan segera Jauzan yang menyadari segera mengambil alih sebelum kaca pigura tersebut pecah dalam genggaman Jordan.

Proses penimbunan tanah sudah hampir selesai, namun nyatanya rasa sakit akan kehilangan Keval itu tak kunjung usai. Bisakah mereka semua menyangkal bahwa sosok yang sudah dikuburkan itu bukan Keval yang mereka kenal?

Satu persatu pelayat pergi meninggalkan area makam basah tersebut, menyisakan orang-orang terdekat yang mungkin masih ingin mengurai duka lebih lama.

Vandra yang masih bersimpuh terus meracau sembari tangannya berpegang pada nisan kayu yang mengukir jelas nama, tanggal lahir serta tanggal kematian sang putra.

Christina masih ada di sana, ikut berjongkok di belakang Vandra terus mencoba untuk menenangkannya.

"Bunda....."

Jordan mendongak kala rungunya menangkap lirih suara yang baru terdengar.

"Papa?" Lagi, kali ini getaran dalam suara itu pecah hingga suara yang tercipta sangatlah lirih.

Miguel mengalah menyadari kondisi Maviel yang tak memungkinkan mendekat menggunakan kursi roda, maka dengan begitu ia gendong putranya tersebut agar lebih leluasa melewati makam-makam lain di sekitar mereka berdiri.

Lain halnya dengan Liana, yang segera menghambur menuju Vandra bersama Christina.

Maviel berontak membuat Miguel membiarkan tubuh lemasnya bersentuhan langsung dengan tanah, bergabung dengan Jordan, Jauzan, Lutfi dan juga Rezvan.

"Kev marah ya?"

Celetukan Maviel berhasil mengundang perhatian beberapa orang, terbukti dengan mereka yang kini memusatkan perhatian pada Maviel yang sudah bergetar menyeret tubuhnya mendekat pada gundukan tanah yang di atasnya terhias cantik penuh dengan taburan bunga.

"Kev marahnya jangan begini dong! Maafin Mav."

"Papa? Papa, Keval marah sama Mada, Papa!"

"Keval marah sama Mada! Kev nggak mau liat Mada lagi, Mada sakit hati, Papa, tolong."

Tak ada yang bisa Miguel lakukan selain diam dan menahan sesak pada rongga dadanya melihat racauan Maviel yang terus mengatakan hal yang sama.

"Ayah? Ayah maafin Mada, maafin Mada ya, bunda... Maafin Mada.."

Kini terlihat ia menunduk, meremas pahanya sendiri mencari pelampiasan emosi, melihat bagaimana tak ada seorangpun yang merespon ucapannya membuat ia mengambil kesimpulan tersendiri, bahwa mereka setuju dengan asumsi pribadinya kalau ialah penyebab semua ini.

Asa Bumantara✓Where stories live. Discover now