25 ; bisa?

42 5 1
                                    

Sudah berminggu-minggu yang lalu Maviel bersimpuh pertama kali di dekat gundukan tanah basah yang menyembunyikan raga Keval hingga jauh dari dekapnya.

Kini ia kembali bersimpuh di tempat yang sama dengan sekantong bunga yang sempat ia beli dalam perjalanan menuju kemari bersama Delvin. Agenda bulanan untuknya merawat makam milik kasihnya itu, agar selalu terlihat cantik. Bukti bahwa ada tak adanya raga dia di dunia, kasih Maviel akan selalu membersamainya.

"Kinda miss you, come to my dream, please? I wanna hug you so fucking bad, Kevie."

Delvin sempat terkekeh melihat bagaimana Maviel yang berusaha menghentikan air matanya, namun tak kunjung berhasil.

Kini Delvin turut menyamakan posisi untuk berjongkok di samping Maviel, ditepuknya pundak Maviel untuk menguatkan. Sebelum akhirnya ia mengadu pada sang adik yang tertidur lelap di hadapannya.

"Cengeng banget Mav sekarang tau, dek. Nangis mulu tiap malem gegara lama nggak kamu samperin di mimpi."

Bukan ikut tertawa justru tangisan Maviel semakin keras membuat Delvin seketika kelabakan.

"Loh kok malah nambah kenceng, udah ah, jangan gini. Ntar nggak gua bolehin lagi loh kesini kalo lu gini terus."

Ancam Delvin agar Maviel tak meneruskan tangisnya. Sebab Delvin sangat hapal, anak itu tak sekedar menangis melepas rindu, tapi juga menangis menyalahkan diri sendiri hingga beberapa kali sempat hampir melukai nadinya.

Itu kenapa Delvin selalu mencegah tangis Maviel agar tak begitu larut.

Anak itu terkadang susah kendali.

Setelah memanjatkan doa untuk Keval di sana, kini keduanya beranjak mulai meninggalkan pemakaman, hari sudah sore dan semakin gelap.

"Mau makan dulu nggak sekalian? Atau di rumah aja?"

Tawar Delvin setelah keduanya masuk mobil. Omong-omong Maviel berhasil melewati masa suramnya dengan kondisi kaki yang lumpuh, berkat terapis yang rutin ia ikuti dan beruntungnya lumpuh itu tidaklah permanen.

"Mampir taman, boleh?" Tanya Maviel lirih.

Delvin mengangguk cepat dengan disertai kekehan ringan, "boleh kok, tapi abis itu makan sekalian ya?"

Dan berganti lah kini Maviel yang manggut-manggut mengiyakan.

.

Keduanya sudah sampai di rumah, jam di dinding hampir menunjuk di angka sepuluh, malam. Maviel langsung menuju kamar Keval meninggalkan Delvin yang melipir duduk di ruang makan mengerjakan tugasnya.

Iya, selang hitungan hari setelah kepergian Keval, Maviel tak mau pulang. Yang ia lakukan hanya diam merenung dan berujung menangis sampai ketiduran di kasur milik Keval, tak mau pulang dan tak bisa dibujuk siapapun atau anak itu akan berujung demam ketika dipaksa.

Lantas Vandra meminta izin dengan baik terhadap Liana agar keluarganya mengijinkan Maviel tinggal di rumahnya, maka setelah berunding selama beberapa waktu— saat itu, Liana dan Miguel menerima tawaran Vandra dengan senang hati, setelahnya, Maviel resmi meninggalkan kost dan tinggal di rumah menemani Delvin.

Sedikit kabar tentang Adin, malam dimana ia disiksa habis-habisan demi sebuah dendam kala itu, ia tak hanya kehilangan jati diri, namun juga kehilangan detak jantungnya yang tak mampu berdetak lagi.

Tubuhnya ditemukan tergeletak begitu saja dengan kondisi mengenaskan dan tak lagi bernapas. Sebuah hukuman yang Maviel mau, nampak nyata jera dan akibatnya dibanding hanya masuk penjara.

Asa Bumantara✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang