17 ; perkara makan

118 11 2
                                    

Terhitung sudah lima hari semenjak Keval kembali pulang dari rumah sakit tempat ia dirawat, namun tak pula menunjukkan perubahan yang signifikan, apalagi menyangkut mentalnya, hanya saja memang memar yang tadinya timbul dengan jelas, kini sudah mulai pudar.

Selama lima hari itu pula yang ia lakukan hanyalah berbaring, atau sekadar melamun di balkon menatap dedaunan yang tertiup hembusan angin. Bahkan kini, saat suara ketukan pintu terdengar, ia sama sekali tak mengubah posisinya yang sedang berbaring menyamping menatap luar jendela kamar, memunggungi arah pintu.

Ia mendengar langkah mendekat, dan bisa dengan mudah ia tebak kalau itu adalah bunda, terbukti saat telapak hangat dengan kerutan khas menyapa kepalanya, menghasilkan jengitan kaget yang nampaknya membuat bunda sendiri seketika merasa bersalah.

"Hey, adek kaget ya? Maaf." Keval acuh membuat bunda menghela nafas panjang, perasaan sesak entah datang darimana secara tiba-tiba melihat sang putra yang kini hanya terdiam setiap diajak berinteraksi.

"Kev, sayang? Bangun dulu yuk, makan terus minum obat."

Keval rasakan hangat telapak tangan bunda secara konstan mengelus rambutnya, perlahan, penuh kasih.

Lagi, terdengar helaan nafas yang terdengar lelah setelah beberapa saat tawaran bunda Keval diamkan, membuat Keval menolehkan kepalanya pelan guna menatap bunda, memastikan.

"Makan, dek, ya?" Tawar bunda untuk kesekian kalinya, apalagi kini Keval tengah membalas tatapannya.

"Mau Mav, unda."

Bunda terdiam dibuatnya, bahkan kini jarum panjang pada jam masih menuju angka dua belas, yang artinya jam pulang sekolah pada umumnya masih tersisa sekitar 3 jam lagi.

"Iya nanti Mav kesini, adek makan dulu tapi, ayo."

Keval menepis perlahan tangan bunda yang terulur untuk membantunya bangkit dari posisi berbaring.

"Mau Mav." Bunda dibuat bingung dengan tingkah Keval yang sekarang setiap ucapannya harus dituruti, kalau tidak, bocah itu akan melakukan hal-hal diluar nalar bocah seusianya.

Seperti kemarin, contohnya, Keval menolak bunda membantunya untuk meminum obat dan meminta Delvin yang melakukannya, namun mengetahui bahwa sang kakak belum pulang dari kampus membuat amarah Keval tersulut begitu saja dan ia mulai meraung keras meminta agar Delvin cepat pulang, tak sebatas itu, ia juga membuang barang-barang yang ada disekitar atau sesekali menjambak dan memukul kepalanya sendiri.

Hati bunda mana yang tak hancur melihat kondisi putranya seperti itu? Maka dari itu pula, bunda harus bisa mengantisipasi amarah Keval, tapi bagaimana cara menjelaskannya?

"Mav nya sekolah, sayang.. nanti kalau udah pulang ya? Nanti bunda telfon Mav buat temani adek, besok libur jadi Mav bisa menginap, mau?"

"Maunya sekarang."

Benar, bukan?

"Nggak bisa dong, bunda telfon aja sekarang ya? Kesininya nanti, kalau Kev udah makan, oke?"

"Nggak! Mau Mav sekarang, ndaa..." Vandra dibuat pening seketika mendengar rengekan bungsunya, jujur ia sedikit jengah meladeni Keval yang beberapa hari terakhir membuat emosinya naik turun sebab bocah itu bebal ketika diberi pengertian dengan cara halus.

Asa Bumantara✓Where stories live. Discover now