21 ; rapi dan wangi

65 8 0
                                    

Kerutan samar tercipta pada kening sosoknya yang kini terbaring kaku di atas tempat tidur dalam sebuah ruangan bercat putih dengan semerbak obat-obatan yang menusuk indra penciuman. Hampa, tak ada seorangpun di sana membuat dirinya hanya bisa kembali memejamkan mata secara perlahan, rasa pusing dan bingung masih menguasai dirinya yang entah sudah berapa lama tak sadarkan diri.

Selang sepuluh menit lamanya, ia kembali mengerjapkan mata perlahan saat rungunya mendengar decit pintu terbuka disusul derap langkah yang kini terhenti di sebelah ranjang tidurnya.

"Mada udah bangun?"

Hening, tak ada jawaban, terlihat hanya ia yang kini berbaring tengah mengerjapkan mata, mungkin berusaha beradaptasi dengan cahaya sekitar.

"Mada bisa denger suara mama, sayang?"

Adalah tuturan lembut yang akhirnya mampu terdengar seutuhnya ketika Maviel baru saja mengumpulkan nyawa seusai tersadar dari tidur lelapnya, ahh sudah berapa lama sejak terakhir kali ia mendengar suara yang apik mendayu itu? Maviel tak ingat.

Iya, Maviel.

"Ma...?" Suaranya serak, pun sangat lirih bahkan mungkin hampir terlebur di udara.

"Mama di sini, nak... Mada mau apa, hm?"

Liana—begitu orang mengenalnya, mengecup beberapa kali pipi Maviel dengan penuh kehatian sebab ia takut semakin menyakiti sosoknya yang sudah terbaring tanpa tenaga dan penuh dengan guratan luka.

Tak ada jawaban yang Maviel berikan membuat Liana mengernyit bingung, ditambah lagi Maviel yang terlihat sangat tidak nyaman, ia berusaha merubah posisinya namun ia justru merintih membuat Liana yang tak tega berakhir menghentikan usahanya.

"Mada mau apa? Mau duduk?"

"S─sa...kit.."

"Iya mama ngerti, nak.. dimana yang sakit? Habis ini mama panggilin dokter, ya?"

Dengan berat hati Liana luncurkan kalimat tersebut hanya demi menenangkan sang putra, dengan sebelah tangan yang tak hentinya mengelus surai Maviel berusaha menyalurkan kenyamanan.

"Nyeri semua ma.."

Tak lagi tega mendengar sang putra mengadu akan sakitnya meski Liana terus mengucapkan kalimat-kalimat penenang untuk mencoba mengalihkan perhatian Maviel dari rasa sakit tersebut, berakhir ia mengelus kaki Maviel yang tertutup selimut.

"Mama?" Liana mendongak menatap Maviel yang kini merubah raut wajah seolah penuh kepanikan membuatnya semakin bingung.

"Mada kenapa, sayang? Sakit banget, ya nak?"

Perlahan gerakan Liana berhenti, ia beralih menghapus air mata yang tiba-tiba meluncur di kedua pipi penuh gores milik Maviel.

"Mada kenapa nangis, bilang sama mama biar mama nggak bingung.. Mada kena─"

"Kaki Mada nggak bisa gerak."

Dan tangisan yang sedari tadi Maviel pertahankan akhirnya pecah dengan begitu hebatnya, bertepatan dengan Papa yang memasuki ruang dan dibuat bingung dengan raungan Maviel juga sang istri yang menangis tanpa suara berusaha menenangkan sang putra.

"Ada apa, Mah?"

Papa panik dan mendekat, membantu Liana menyikapi Maviel yang masih terisak tak terima sembari memukuli pahanya keras-keras.

"Tenang, Mada. Tenang." Papa menginstruksikan agar Maviel tidak panik dengan nadanya yang terdengar datar meski jantungnya berdegup tak beraturan.

"Pa kaki Mada, Pa.."

Asa Bumantara✓Where stories live. Discover now