15 ; pelan-pelan

138 11 2
                                    

Terhitung sudah hari kedua sejak Keval dirawat, Maviel adalah satu-satunya yang berada disana setiap saat menemani Keval, tidak bosan, meskipun ia disana hanya sekadar menatap atau mungkin bertanya sesuatu pada lawan bicaranya meski hanya mendapatkan jawaban singkat, atau parahnya hanya gelengan dan anggukan lemah, entahlah.

Sore itu jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam, tadi kata dokter jaga, semisal keadaan Keval sudah jauh lebih baik besok ia diperbolehkan pulang.

Delvin sedang keluar, urusan, dia itu mahasiswa sibuk yang kalau memiliki waktu luang pasti akan otomatis terisi jadwal yang datangnya bisa entah dari mana dan kapan saja.

Namun tak lama setelah itu pintu diketuk, sudah balik, dan tunggu, ia tidak sendiri. Terbukti dari rautnya ketika membuka pintu nampak sedang berbincang ringan, hingga sampai dimana sosok wanita masuk dengan gerakan sedikit terburu.

"Keval, sayangnya Unda..."

Begitu sambutnya ruang meski suaranya sedikit bergetar, antara menahan rindu atau justru menahan sendu.

Maviel sedikit kebingungan saat tanpa aba-aba bajunya ditarik kencang hingga hampir saja terjatuh ke ranjang, yang tak lain pelakunya adalah Keval sendiri.

Maviel rasakan baju yang ia kenakan diremas kencang di bagian pinggang, saat ia menoleh, yang ditemukannya adalah Keval yang menjadikannya sebagai tempat persembunyian.

Dan ketika Vandra mencoba memeluk Keval sebab tadi belum paham kondisi sekitar, tepisan kencang ia dapatkan dari Keval hingga mampu membuat Vandra terpaku pada tempatnya, air mata yang tadinya penuh kerinduan kini beralih menjadi gambaran sakit hati.

Ketiga orang lain yang berada di sana masih bingung memproses apa yang terjadi dengan Keval.

"Nggak mau, Mav, nggak mau." Lirihan yang sedikit teredam itu masih terdengar jelas tersuarakan dalam ruang.

Delvin mendekat, mencoba menggapai lengan Keval yang terbebas dari infus, berniat untuk membisikkan kata penenang, namun yang terjadi adalah bocah itu yang memberontak dan semakin menarik Maviel mendekat disertai gelengan kencang tanda menolak keras eksistensi Bunda nya di sana.

Maviel seketika tersadar, sejak awal datang, perawat yang visit pun dengan dokternya kebetulan adalah laki-laki, yang artinya selama dua hari itu pula Keval sama sekali belum berinteraksi dengan wanita manapun.

"Itu Bunda, Kev... Bunda cuma mau nyapa loh, nggak apa, ya?"

Delvin mengelus pelan tengkuk Keval dan menuntun Keval yang awalnya memeluk Maviel untuk beralih memeluknya. Vandra juga tak mempermasalahkan hal tersebut karena ia berpikir itu adalah refleks yang Keval lakukan.

"Nggak mau, Abang. Keluar!" Teriaknya dengan badan Keval yang dapat Delvin rasakan semakin bergetar, bahkan yang awalnya hanya isakan kini sudah menjadi tangisan yang mungkin mampu menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

Mengalah, Vandra bawa langkah lesunya keluar ruangan dengan perasaan hampa, kehadirannya ditolak oleh bungsu yang sudah lama ia rindukan untuk dibawa dalam dekapan.

"Udah, Kev udah... sstt, Bunda udah keluar, calm down.. it's okay,"

Perlahan Keval mengendurkan pelukannya pada sang kakak untuk kemudian membaringkan tubuh dan menutupi keseluruhannya menggunakan selimut, terlihat ia juga tengah berusaha menetralkan nafasnya yang sempat tersendat-sendat.

Delvin tidak akan menghakimi Keval yang seperti itu, ia sudah terlampau paham untuk memahami apa yang adiknya itu terima sebelumnya.

Dua hari lalu, tepat setelah ia bertanya kepada Maviel apa yang terjadi, disitulah ia mengetahui semua. Semua tentang Keval, adiknya, tanpa terkecuali.

Asa Bumantara✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang