18 ; sebentar lagi

141 15 5
                                    

Hari demi hari berlalu begitu cepat, sudah tiga minggu berlalu semenjak hari dimana bunda membanting piring sebab Keval yang menolak untuk disuapi dan minum obat, selama itu pula bunda tidak lagi pernah mengantarkan makanan pada Keval, sebagai gantinya, Bahtiar lah yang dengan telaten mengurusi Keval setiap hari bergantian dengan Delvin, atau sesekali Maviel yang datang setiap akhir pekan.

Tak lagi repot untuk memikirkan bagaimana Keval sekolah, sebab mereka semua menyepakati bahwa Keval perlu mengambil cuti dari dunia luar termasuk kegiatan pendidikan, alias mereka secara mutlak membatasi lingkup sosial seorang Keval demi kesembuhannya secara lahir batin.

Namun tetap saja, hal itu bukanlah jalan efektif yang tidak akan memberikan resiko, seperti contohnya, Keval yang semakin hari semakin susah diajak berinteraksi, Keval yang hanya menampilkan raut datar menatap kosong pada pojok ruang, atau Keval yang akan mengamuk dan menghancurkan kamar ketika ada yang mengusik ketenangannya.

Kalau saja Keval bisa mengutarakan apa yang sebenarnya ia rasakan secara gamblang, sungguh, ia sangat bersedia, tapi entah kenapa seolah tenggorokannya tercekat tambang kencang ketika ia hendak menyusun kalimat untuk diucapkan, sangat sulit.

Contohnya seperti saat ini, tepatnya sore hari jadwal ia konsultasi dengan psikolog, ditemani bunda dan ayah, serta Maviel tentunya yang diminta langsung oleh bunda untuk ikut, dimana sebenarnya hal itu hanyalah pancingan agar Keval mau menurut.

"Adek, sayang... Nanti yang nurut, ya? Kalau ditanya dokter, jawab yang baik, oke?"

Bunda memberi petuahnya ketika mereka baru saja keluar dari mobil dan tak mendapati respon dari yang diajak bicara.

Ketika tangan bunda hendak menggandeng, Keval menolak dan lebih memilih untuk berada di belakang tubuh sayang ayah sambung membuat bunda sedikit menampilkan senyum kecut.

"Pulang aja, ayah, takut." Lirih Keval dengan suara tergagap sebab ia merasa banyak pasang mata disekitar mereka berdiri menatapinya dengan sorot pandang yang menghakimi. Padahal kenyataannya orang-orang yang berlalu-lalang itu tidak sama sekali melihat mereka, hanya karena memang pikiran Keval yang sudah tersugesti.

"Loh kok pulang, belum jadi masuk loh, adek.." Jawab ayah sabar, mencoba memahami apa yang tengah Keval pikirkan, "udah sama Mav juga kan, nanti Mav nya sedih kalo adek nggak mau terapi, iya kan, Mav? Tadi juga adek bilang bosen di kamar mau keluar, ini kita udah di luar, sebentar aja nggak apa, ya?"

"C'mon anak pintar ayah." Bahtiar menggandeng bahu Keval agar bocah itu mau mengambil langkah, diikuti bunda lalu Maviel yang berada dibarisan belakang mengekori ketiganya.

Jujur langkah Keval sedikit terseok berusaha menyeimbangkan langkah ayah, dan sayang sekali ketika mereka hendak berbelok ke arah lorong tempat dimana ruangan berada kaki Keval tersandung langkahnya sendiri hingga jatuh ke depan menyebabkan tempat sampah berbahan alumunium yang kebetulan berada di sampingnya seketika menciptakan bunyi nyaring mengisi kekosongan suara di lorong tersebut.

Ayah yang terkejut dengan panik segera menuntun Keval untuk kembali berdiri, begitupula dengan bunda dan Maviel yang spontan mendekat hendak membantu.

"Pelan-pelan, adek.. ada yang sakit nggak?"

Yang ditanya menggeleng kaku dengan badan yang mulai gemetar serta jantung yang berdegup kencang karena nyatanya apa yang baru saja tak sengaja ia lakukan itu memancing perhatian orang-orang sekitar yang ingin tahu dengan memandang lekat kearah mereka.

"Pulang, ayah.." lirihnya mulai gemetar, Keval merasa tatapan yang tak sengaja ia lihat dari mereka-mereka yang ada disana adalah tatapan sanksi.

"Tenang, okay? Keval pintar tenang ada ayah, nggak apa, nak."

Asa Bumantara✓Where stories live. Discover now