TIGA PULUH DELAPAN

44.3K 4.9K 271
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


VOMMENT GENGSS!! SALING MENGHARGAI YAA!!!

___

Buku-buku jari tangan kurus Kayra mengetuk pintu kaca di depannya tiga kali sebelum kemudian masuk ke dalam ruang guru. Ruangan luas dengan empat mesin pendingin ruangan yang terpasang di sisi kiri dan kanan dinding itu sepi, hanya menyisakan beberapa guru di dalamnya berhubung saat ini jam pelajaran sedang berlangsung.

Kalau bukan karena dirinya dipanggil untuk menghadap guru olahraganya, Kayra memilih duduk di dalam kelas setelah kakinya rasanya seolah ingin patah karena dipaksa berlari 20 putaran tanpa henti.

"Permisi, Pak." Kayra memanggil laki-laki yang sibuk dengan ponselnya.

"Oh ya, Kayra." Guru olahraga yang bernama Pak Arka itu menarik salah satu kursi di meja guru sebelah, mempersilakan Kayra untuk duduk.

"Ada apa ya, Pak?"

"Jadi begini, soal kejadian tadi di lapangan."

Kayra sudah menebak kalau dipanggilnya ia ke kantor guru pasti ada sangkut pautnya dengan kejadian tadi pagi.

Arka menyodorkan salah satu map ke arah ke Kayra yang berisi lembaran pindai radioaktif bergambar tulang pada pergelangan tangan.

"Ini hasil X-ray tangan Meira. Ada dislokasi pada bagian pergelangan tangannya."

Kayra menarik napas dalam, mulai menerka-nerka kemana arah pembicaraan mereka.

"Sebenarnya Meira berniat menuntut ganti rugi dan ingin kamu dikeluarkan dari sekolah. Apalagi tadi ada yang merekam kejadiannya." Telunjuk Arka mengusap sudut alisnya sejenak. "Tapi saya akan mengusahakan agar itu tidak terjadi dan mencoba untuk bernegosiasi dengan Meira dan orangtuanya."

Ternyata masalahnya jadi separah ini. Meski Kayra menyangsikan kebenaran yang dipaparkan gurunya. Maksud Kayra, apa mungkin tangan Meira beneran cedera separah itu? Kalau hanya terkilir biasa, Kayra rasa kata dislokasi yang digunakan terlalu hiperbola.

"Terima kasih atas bantuannya, Pak. Tapi lebih baik kalau saya pergi ke sana sendiri dan berbicara langsung dengan Meira dan orangtuanya."

"Ah, iya. Nanti biar sama saya ke sana."

Kening Kayra berkerut tipis mendengar penuturan guru di depannya. Ajakan itu terdengar mencurigakan.

"Saya bisa sendiri, Pak. Saya cuman minta nama rumah sakitnya. Biar saya sendiri yang ke sana dan minta maaf langsung sama Meira."

Bola mata Arka bergerak memindai sekitar, memastikan keadaan aman dan tidak ada lagi guru lain yang menyaksikan, pemuda itu mengeluarkan kekehan pelan.

"Kayra, kamu kira kalau kamu sendiri ke sana dan minta maaf mereka bakal maafin kamu? Saya yakin orangtua Meira bakal semakin murka kalau lihat video kamu yang sengaja mencelakai anak mereka. Itu baru Meira, belum tiga yang lainnya."

GEVARIELWhere stories live. Discover now