Prolog

3.1K 119 3
                                    

لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِيْ لَهَآ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۗوَكُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ

"Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya." [Q.S. Yasin:40]

Namun, jangan lupa bahwa:

اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

"Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu." [QS. Yasin:82]

▪︎▪︎■■▪︎▪︎


Musik pernikahan melantun merdu, memanjakan indra pendengaran setiap insan yang berada di dalam ruangan. Nuansa haru bercampur bahagia sangat terasa, disertai dengan senyuman sumringah setiap orang yang duduk di kursi tamu. Mereka dengan berdebar menunggu Alsava Indah Ghassani, si pengantin perempuan muncul dengan penampilan yang mempesona.

Saat musik pernikahan sedang berada di puncaknya, terdengar suara sepatu mengetuk lantai. Dalam sekejap, segenap tamu menoleh ke arah belakang. Mereka terkesima melihat Sava muncul dengan penampilan yang sangat memukau. Gaun putih gading, dengan ukiran bunga-bunga yang menghiasi bagian dada hingga ke pinggang. Gaun yang ia kenakan itu terlihat sangat indah. Gaun menjuntai hingga menyentuh lantai. Bagian belakangnya di pegangi oleh dua orang gadis kecil cantik bertudung pink yang memakai gaun berwarna peach. Tudung yang menutupi kepala sang mempelai perempuan dihias sedemikian rupa. Wajahnya yang semula cantik disulap menjadi semakin cantik menyerupai putri dari khayangan. Wajahnya terlihat lebih mempesona saat senyum tersungging di bibir indahnya.

Di sebelah perempuan cantik itu terdapat sang Papa tercinta, H. Ahmad Aiman Ghassani. Tubuhnya yang tinggi tegap berkharisma, membiarkan putri semata wayangnya mengaitkan tangannya di lengannya. Pria paruh baya itu tampak bahagia sekaligus haru ketika menggiring putrinya berjalan menyusuri tempat ijab kabul. Sang Papa melepaskan kaitan tangannya dengan putrinya, lalu menggiring langkahnya untuk duduk di kursi yang telah disiapkan.

“Sava, apakah Bian masih lama datangnya?” tanya Papa Aiman, menatap ke arah Sava setelah lima menit berlalu.

Sava mencoba menenangkan Papa Aiman sambil tersenyum. “Sebentar lagi, Pa. Katanya masih di jalan.”

Papa Aiman menghela napas pelan, kemudian mengangguk. “Ya, ini Jakarta, Va. Jalanan pasti macet."

“Sabar, Pa. Sebentar lagi Mas Bian datang, kok.” Sava kembali menenangkan sang Papa tercinta.

Dua jam berlalu begitu saja. Kota Jakarta nampak berubah gelap dari luar hotel. Gerimis mulai berguguran membasahi bumi. Para tamu yang hadir mulai gelisah. Tidak ada tanda-tanda sang pengantian pria akan datang, begitu pula keluarganya. Papa Aiman mulai geram, ia merasa dipermainkan, sementara Sava terduduk lemas di kursi.

“Ya Allah..” Papa Aiman mengusap dadanya. "Ini sudah keterlaluan, Sava!" Ia pun segera bangkit dari duduknya.

“Sabar, Mas. Mungkin Bian lagi terkena macet. Di luar sedang hujan.” Kali ini Mama Arafah yang ikut menenangkan suaminya.

“Papa merasa kecewa, Ma.” Papa Aiman menutup matanya rapat-rapat, mencoba menenangkan diri beberapa saat.

Mata Sava mulai berkaca-kaca. Apa yang sebenarnya terjadi pada Bian? Mengapa dia tak kunjung datang? Batin Sava bergejolak.

“Mbak Sava! Mbak Sava!” teriak perempuan dengan setengah berlari menuju tempat dilangsungkannya ijab kabul. Semua orang memandang ke arah perempuan itu dengan heran.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Where stories live. Discover now