Bagian 5. Detak

1K 71 1
                                    

Pagi ini Araz sangat kewalahan karena tidak bisa melakukan hal apa pun seperti biasa. Sejak kemarin ia baru menyadari bahwa ada banyak hal sederhana yang tidak bisa dilakukannya hanya dengan sebelah tangan, termasuk memainkan ponsel. Satu-satunya hal yang berhasil dilakukan Araz dengan sebelah tangan adalah duduk atau berbaring di tempat tidur.

Apakah Araz menyalahkan Sava?

Araz mengumpat dalam hati. Tidak, ia tidak menyalahkan Sava. Peristiwa yang terjadi kemarin adalah murni kecelakaan. Araz menghentikan jalan pikirannya seiring langkah kakinya yang berhenti mendadak di tengah anak tangga apartemennya. Dia melihat Sava sedang memainkan piano dengan merdu. Jari lentiknya tak berhenti menekan tuts dengan mata terpejam. Sedetik kemudian, Araz mengerutkan kening menatap Sava yang hari ini tidak pergi mengajar dan mendadak muncul di depan matanya.

Araz melanjutkan langkahnya kembali menuruni anak tangga, sedangkan Sava masih sibuk dengan dunianya. Ya, Sava dan piano, itu menandakan Sava sedang memikirkan seseorang dan Araz meyakini bahwa orang yang sedang Sava pikirkan sekarang adalah Bian.

"Ibu kenapa masih di sini?"

Sava menoleh pelan ke arah Araz. Dia mematung di hadapan Araz. Araz tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya memberengut kecil menatap perempuan yang telah membuat tangannya cedera. Dia duduk di sofa kemudian mendesah pelan.

Sava hendak membuka mulut, tetapi Araz lebih cepat dan berkata, "Jangan coba-coba jatuh lagi," katanya tajam.

Sava menatap Araz dengan bingung. Lalu, ia menunduk dan sepertinya menyadari apa yang dimaksud Araz.

"Ar.."

"Kalau Bu Sava jatuh, aku yang repot." Araz lagi-lagi menyela, dan sama sekali tidak mencoba membuat suaranya terdengar ramah tapi menusuk.

"Sekali lagi Ibu minta maaf, Araz." kata Sava cepat, lalu menelan ludah dan menatap Araz sambil menggigit bibir.

Araz mengalihkan pandangannya. Ekspresinya tetap tidak berubah. 

Sava menggerakkan sebelah tangannya tanpa maksud tertentu dan melanjutkan, "Ibu belum sempat minta maaf. Kemarin, maksud Ibu... emm.. jadi hari ini Ibu mau minta maaf. Ibu sangat menyesal. Sungguh, Ibu benar-benar tidak sengaja."

Araz tidak berkata apa-apa selama sepuluh detik penuh. Lalu ia mulai berujar, "Baiklah. Sekarang Bu Sava boleh pergi," katanya lalu bangkit dari sofa. Dia berjalan menaiki anak tangga.

"Ibu mau menemani kamu hari ini. Apa kamu mau makan sesuatu?" tanya Sava, membuat langkah Araz terhenti.

Araz menoleh menatap Sava, masih dengan alis berkerut.

"Untuk Apa?"

Sava berdiri di tempatnya dan menatap Araz lurus. "Ibu khawatir. Ibu mau menemani kamu hari ini." Ia mengulangi kata-katanya tadi, namun dengan suara yang lebih pelan. "Bagaimana pun, Ibu lah yang membuatmu jadi seperti ini. Jadi…"

"Bu Sava mau membantuku?" tanya Araz datar, sama sekali tidak berniat menerima bantuan apa pun dari Sava. Dia tidak marah. Dia hanya tidak mau merepotkan Sava. Lagi pula, apa arti Araz bagi Sava? Bukankah selama ini Sava hanya menganggapnya sebagai suami pajangan?

Sava ragu sejenak, lalu berkata dengan nada bertanya, "Ibu… bisa jadi tangan kirimu. Kamu mau makan sesuatu?"

"Aku mau buang air. Apa Bu Sava mau membantuku ke kamar mandi?"

Sava mengerjap. Keheningan mulai tercipta. Sempat terbesit di benak Sava bahwa Araz sedang mengujinya hari ini atau bisa saja Araz memang sungguh mengerjainya.

"Kalau begitu gak ada gunanya Bu Sava jadi tangan kiriku," tukas Araz, lalu berbalik melanjutkan langkahnya di tangga.

"Ibu bisa bantu kamu."

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Where stories live. Discover now