Bagian 2. Masih Tentang Bian

1.2K 82 5
                                    

Meja makan sangat hening dari percakapan. Hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar menghiasi sudut ruang makan pagi ini. Meskipun duduk bersebelahan, Sava enggan menyapa Araz terlebih dahulu gara-gara persoalan tadi malam. Begitu pula dengan Araz yang hanya sibuk menyantap ayam goreng dipiringnya. Harus ia akui bahwa masakan Sava pagi ini sangat cocok di lidahnya. Ya, sepertinya ia mulai terbiasa dengan masakan yang dibuat oleh Sava.

Ting.

Sebuah notifikasi WhatsApp berbunyi dari ponsel Araz. Mulanya Sava tidak peduli, tapi lama kelamaan ia penasaran dan melirik sekilas ke arah layar ponsel Araz yang menyala. Sebuah chat yang berasal dari Manda. Ya, nama yang tertera di layar ponsel itu adalah nama gadis itu. Di sekolah, Araz dan Manda kerap kali digosipkan berpacaran, tapi Sava enggan mengorek terlalu jauh tentang hubungan keduanya.

Setelah menikah, Sava dan Araz memang sudah sepakat untuk tidak mencampuri kehidupan pribadi masing-masing. Namun satu hal yang Sava inginkan, mereka harus tahu batasan. Dalam urusan rumah tangga, tentu saja Sava lah yang memegang kendali karena ia lebih dewasa dibandingkan Araz. Dia kerap kali jadi pengingat Araz setiap kali Araz berbuat salah, termasuk tentang kejadian tadi malam. Meski demikian, Sava tetap menghormati Araz sebagai suaminya. Dia juga tak melupakan tanggungjawabnya sebagai seorang istri seperti memasak, mencuci, mengurus apartemen, dan menyiapkan keperluan sekolah Araz.

Merasa diperhatikan, Araz mengambil ponselnya dan memasukkannya ke dalam kantong celananya. "My privacy," komentar Araz seolah menebak apa yang dipikirkan Sava terhadapnya. Meskipun ia sendiri tak yakin dengan opininya itu.

"Ibu tidak masalah kamu berteman sama siapa pun di luar sana. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, siapa Ibu dan siapa kamu sebenarnya, itu yang harus kamu ingat," nasihat Sava. 

"Apa Bu Sava pernah menganggap aku ini suami?"

"Hei, sekarang ini kamu memang suami Ibu, kan?"

"Iya, tapi kenyataannya?"

"Walaupun Ibu belum bisa...." Ucapan Sava terhenti. Dia meletakkan sendok dan garpu ditangannya, meneguk sisa minumannya kemudian mengangkat piring kotor lalu beranjak menuju dapur.

"Belum bisa apa sih maksudnya? Belum selesai ngomong malah pergi gitu aja, apa gunanya gue jadi suami? Dihargai juga enggak," gumam Araz dengan kesal.

Sementara itu di dapur, Sava termenung sambil menatap piring kotor yang belum sepenuhnya selesai ia cuci. Dia kembali teringat akan kebersamaannya dengan Bian seminggu sebelum pria itu meninggal. Sungguh rencana Allah tidak ada yang tahu, begitu pula dengan kepergian Bian yang begitu tiba-tiba.

"Mas Bian.. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana aku menghadapi Araz, Mas? Sampai detik ini pun perasaanku pada kamu masih sama, Mas. Ya Allah, ampuni dosa hamba-Mu ini karena belum bisa jadi istri yang baik untuk suami hamba."

Sava melanjutkan kegiatannya mencuci piring. Setelah selesai, ia menuju kamarnya dan berhias diri untuk berangkat ke sekolah. Hari ini jadwal mengajarnya sangat penuh. Menjadi guru memang cita-cita Sava dari kecil. Meskipun gaji guru tak seberapa dengan pekerja kantoran, tapi berkah yang di dapat justru berkali-kali lipat. Saat di sekolah dulu, Sava sangat menyukai pelajaran Bahasa Indonesia. Maka dari itu, ia memutuskan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ketika kuliah.

Papa Aiman merupakan inspirator Sava menjadi seorang pengajar. Selain berprofesi sebagai dosen Pendidikan Seni dan Arsitektur Islam di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, Papa Aiman juga aktif mengelola Pondok Pesantren Raudlatul Muttaqin Mojokerto di Jawa Tengah. Pondok Pesantren itu merupakan buah dakwah sekaligus warisan dari kakek buyut Sava, yakni Kiai Hasbullah Manan Ghassani, seorang ulama terkemuka yang lahir di Pekalongan. Papa Aiman dan saudaranya, Kiai Ahmad Salman Ghassani, saling bahu membahu menjadikan Pondok Pesantren Raudlatul Muttaqin semakin eksis dan bahkan mampu berkembang dan beradaptasi dengan tantangan zaman tanpa menghilangkan tradisi serta visi misi pesantren itu sendiri.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Where stories live. Discover now