Bagian 20. Seseorang Berubah Bukan Tanpa Alasan

573 40 0
                                    

Waktu berjalan begitu cepat. Sudah sebulan sejak Araz memutuskan mundur dari ketua Geng Laskar. Sejak saat itu pula Araz banyak menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat Rio, melakukan tugas-tugasnya sebagai pesuruh. Sungguh menyedihkan. Demi mengunci rapat mulut Rio dan demi menjaga rahasianya tetap aman, Araz melakukan segala cara, termasuk menjadi kacung Rio. Tak jarang pula Araz pulang dalam keadaan lebam di wajah karena Rio sering memukulnya tanpa alasan yang logis.

Araz tidak menyangka keputusan yang ia ambil itu ternyata berdampak besar dalam hubungan rumah tangganya. Semakin hari ia semakin jarang berbicara dengan Sava. Mereka seperti kembali menjadi orang asing yang terpaksa hidup bersama. Walaupun Sava tidak pernah mengabaikan tugasnya sebagai istri, tapi tetap saja semuanya terasa berbeda di mata Araz.

Araz menatap pintu apartemennya sambil menghela napas lelah. Bau alkohol begitu menyengat di tubuhnya. Dia berdoa dalam hati supaya Sava tidak melihatnya pulang dalam keadaan berantakan seperti ini, namun sayang sekali doanya itu tidak terkabul. Begitu ia membuka pintu, Sava sudah menyambutnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Dari mana kamu seharian ini?" tanya Sava.

"Aku pergi ke rumah teman," jawab Araz.

"Kamu pasti dari tempatnya Rio, ya kan?" Sava berjalan mendekati Araz. Tepat saat itu pula ia mencium bau tidak sedap dari tubuh laki-laki dihadapannya. Sava terbelalak saat mengetahui bau itu adalah bau alkohol. "Apa kamu minum alkohol?"

Araz menutup matanya rapat-rapat. Dia ingin membantah dan menegaskan bahwa ia bukan penikmat minuman haram, tapi semua itu tidak ada artinya karena Sava sudah terlanjur mencium bau alkohol dari tubuhnya.

"Araz jawab?"

"Kalau aku menjawab enggak, apa Bu Sava akan percaya?"

Sava memegang kepalanya yang terasa berat. "Kenapa? Apa alasannya? Kenapa kamu minum alkohol?"

"Sudahlah, sebaiknya Bu Sava istirahat." Araz bersiap ingin beranjak dari posisinya.

"Kenapa kamu berubah? Ke mana Araz yang Ibu kenal selama ini? Kenapa kamu selalu membuat Ibu kecewa? Kenapa?!" Suara Sava mulai meninggi. "Semenjak kamu bergaul dengan Rio dan teman-temannya, kamu berubah. Kalau kamu ada masalah, bicara sama Ibu. Ibu ini istri kamu, Araz. Kenapa kamu tidak pernah mengatakan apa pun pada Ibu?" tanya Sava sebelum Araz sempat bereaksi.

"Aku gak melihat ada alasan untuk memberitahu Ibu. Ini masalahku. Ibu gak perlu ikut campur," jawab Araz.

"Enggak ada alasan untuk memberitahu Ibu?" Sava mengernyit heran, seolah-olah tidak percaya. "Lalu kamu pikir Ibu ini apa?"

Araz mendesah. "Ini masalah pribadiku dan tidak ada hubungannya dengan Bu Sava. Kenapa Bu Sava selalu ingin tahu urusanku?"

"Perlukah Ibu ingatkan kalau Ibu menghabiskan sebagian besar waktu Ibu di sini?" Sava balas bertanya dengan kesal. Tetapi ia berusaha mengendalikan suaranya. "Apakah kamu tahu betapa khawatirnya Ibu padamu? Ibu mohon berhentilah membuat Ibu khawatir dan jadilah Araz yang Ibu kenal. Ibu mohon.." Mata Sava mulai berkaca-kaca.

Araz memalingkan wajahnya. Dia tidak sanggup melihat Sava menangis karena dirinya. Demi Allah, ia tidak sanggup.

"Araz, jawab Ibu?"

"Bu Sava, aku mohon, tunggu sebentar lagi. Apa Bu Sava bisa menunggu? Aku melakukan semua ini demi Bu Sava. Aku gak mau Bu Sava diberhentikan dari sekolah karena ketahuan menikah denganku. Aku juga gak mau Bu Sava menanggung malu nantinya," kata Araz, tapi ia hanya mampu mengatakan itu di dalam hati. Dia belum bisa mengatakannya secara langsung pada Sava. "Sudah kubilang aku baik-baik saja. Jadi Ibu gak perlu bertanya lagi. Aku lelah. Aku mau tidur, Bu!"

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora