Bagian 7. Nasihat Yang Mengandung Kebenaran

797 64 1
                                    

Bunyi bel pintu mengganggu konsentrasi Araz memainkan game di ponselnya. Dia menyipitkan mata menatap jam kecil di meja di samping tempat tidurnya. Jam 08.10. Siapa yang membunyikan bel pagi-pagi begini? Apa yang datang itu teman-temannya? Ah, tidak salah lagi, pasti mereka. Hari ini adalah hari Minggu. Teman-temannya pasti ingin mengajaknya pergi atau sekedar melakukan hal random di apartemennya.

Araz mengetuk singkat pintu kamar Sava lalu berkata, "Bu Sava jangan ke luar dulu. Di luar ada teman-teman aku."

Tidak ada sahutan dari dalam kamar. Mungkin Sava sedang di dalam kamar mandi. Bel pintu kembali berbunyi. Araz turun dari tangga menuju ke pintu depan dengan langkah diseret-seret. Dia menekan tombol interkom di samping pintu dan bertanya, "Ngapain pagi-pagi ke sini? Sebaiknya kalian pulang. Aku gak menerima tamu sekarang."

Lalu, suara seorang wanita balas bertanya, "Maksud kamu?"

Araz mengerutkan kening. Bukan teman-temannya? Araz pun bertanya, "Siapa ini?"

Suara wanita itu kembali terdengar. "Orang yang
melahirkan kamu ke dunia ini."

Araz mengerjap terkejut. "Mama?" tanyanya setelah mengenali suara itu.

Dengan cepat Araz membuka pintu apartemennya. Ternyata yang datang bukan hanya Mama Linda, tapi juga Papa Gunawan. Araz membiarkan orangtuanya masuk.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Di mana Sava?" tanya Mama Linda. Dia mengamati sekeliling ruang tamu dan kini matanya tertuju ke lantai atas.

Araz mulai gelisah. Bagaimana jika orangtuanya tahu kalau ia dan Sava tidak berbagi kamar? Sebenarnya ia dan Sava sempat berbagi kamar selama beberapa hari. Sava berusaha memegang janjinya untuk tetap di sisi Araz sampai tangan Araz sembuh, namun saat tengah malam Araz membuka mata, Sava sudah tak ada lagi dipenglihatannya.

"Kenapa gak telepon dulu sebelum ke sini?" tanya Araz.

"Di mana Sava?" Mama Linda mengulang kembali pertanyaannya.

"Ibu Sava lagi mandi," jawab Araz seadanya, berharap sang Mama tidak mengulik lebih jauh.

"Oh, begitu.."

"Bagaimana tangan kamu?" tanya Papa Gunawan.

"Udah mulai baikan, Pa."

"Mama dan Papa sudah sepakat mau membawa kamu berobat ke luar negeri seandainya tangan kamu masih belum sembuh, Raz." Mama Linda menatap tangan Araz dengan prihatin. Dia mendekati Araz dan menuntunnya duduk di sofa.

"Gak usah, Ma. Nanti juga sembuh sendiri," sahut Araz, meski tak yakin.

"Lebih cepat di obati lebih baik, Raz. Ini demi kebaikan kamu juga," saran Papa Gunawan.

Araz terlihat pasrah.

"Kamu sadar, tidak? Kamu seperti ini pasti ada sangkut pautnya dengan hobi kamu yang sering balapan itu." Mama Linda menatap Araz sengit.

Araz menaikan sebelah alisnya. "Sangkut pautnya di mana, Ma? Ini kan gara-gara kejatuhan Bu Sava, bukan gara-gara itu."

Araz mencium aroma yang tidak baik. Mamanya pasti hendak menyemprotnya karena suka balapan di luar.

"Pokoknya kalau kamu sembuh, kamu tidak boleh balapan lagi. Setiap kejadian itu pasti banyak pelajaran yang bisa di ambil di dalamnya, termasuk kejadian yang menimpa kamu sekarang ini. Mungkin Allah mau kamu stop keluyuran gak jelas, balapan yang gak penting, dan fokus belajar. Apalagi sekarang kamu sudah punya istri. Kamu harus jadi suami yang baik untuk Sava."

Araz hanya diam. Melihat Araz yang diam seperti itu membuat tangan Mama Linda gatal hendak menjewer telinga Araz. Dan benar saja, Mama Linda menjewer telinga Araz dengan kencang. Araz pun meringis kesakitan.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang