Bagian 18. Perkelahian Anak Muda

656 50 1
                                    

Hari masih terlalu pagi. Burung-burung beterbangan dan berkicau merdu, seolah-olah menyanyikan lagu kebahagiaan. Angin yang berhembus pelan memainkan ujung kerudung Sava. Pepohonan yang berbaris didekat gedung apartemen yang ia dan Araz lewati seumpama tubuh para sufi yang duduk dalam nikmatnya zikir kepada Sang Maha Pencipta.

Sava nampak begitu anggun dengan balutan gamis berwarna merah muda yang dipadu dengan kerudung warna senada. Sedangkan Araz nampak gagah dengan balutan baju koko dan sarung. Keduanya nampak serasi berjalan dengan beriringan selepas menunaikan salat Subuh di masjid.

"Bu Sava, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Araz, di sela-sela perjalanan mereka.

"Hum." Sava mengangguk. "Bertanya apa?"

"Apakah cinta tanpa kata bisa disebut cinta?"

"Menurut kamu sendiri bagaimana? Apa itu bisa disebut cinta?"

Araz mengangkat bahu. "Entahlah. Menurut Bu Sava bagaimana?"

Sava menghela napas sejenak, lalu berkata, "Menurut Ibu tidak," jawabnya ringan.

"Kenapa?"

"Karena menurut Ibu sorot mata saja gak mampu mengungkapkan semuanya. Mata hanya bisa menyampaikan sinyal. Hanya itu."

"Jadi menurut Bu Sava cinta tanpa kata itu bukan cinta, tapi cuma sinyal?"

Sava tak segera menjawab. Araz tahu ada kalanya Sava memang tidak bisa memberi jawaban cepat. Terkadang itu sedikit menjengkelkan, tapi di sisi Sava sendiri ia justru menimbang-nimbang jawabannya hingga menghasilkan jawaban yang tepat. Lebih baik terlambat daripada celaka di jalan, demikian pandangan hidupnya.

"Cinta itu gelombang-gelombang makna yang menggores langit hati, maka jadilah pelangi. Goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi semuanya nyata dan indah. Itulah alasan kenapa muncul surat cinta, adanya cerita cinta, adanya puisi cinta, adanya lagu cinta. Dan semua itu adalah kata," terang Sava.

Araz mengerjap mendengar penjelasan Sava yang bisa dikatakan sangat masuk akal. Memang benar sebuah sinyal saja tidak cukup dalam cinta, itulah sebabnya kata dibutuhkan untuk memperjelas segalanya.

"Lalu, bagaimana dengan pasangan yang sudah menikah tapi gak pernah saling mengungkapkan cinta?"

Pertanyaan Araz itu membuat Sava terkesiap. Dia menatap Araz lekat-lekat. "Apa kamu sedang membicarakan hubungan kita?"

Araz mengelak. "Pertanyaanku bersifat universal, gak memihak ke salah satu pasangan."

"Oh ya? Ibu pikir pertanyaan kamu itu ada hubungannya dengan kita." Sava mulai bercerita kembali," Kamu tahu? Nabi Muhammad saja menggunakan kata untuk mengungkapkan cintanya pada Aisyah. Nabi Muhammad memanggil Aisyah dengan sebuatan Asy yang berarti Aisyah. Itu adalah panggilan romantis Nabi Muhammad untuk istrinya," jelasnya penuh semangat.

Angin yang berembus pelan membelai-belan wajah Sava yang begitu cerah seumpama bidadari di mata Araz. Tidak ada yang lebih membahagiakan baginya selain memandang wajah istrinya itu.

"Sava," panggil Araz tiba-tiba.

"Eh?" Sava mengerjap. Sesuatu dalam dadanya terasa aneh ketika ia mendengar Araz memanggil namanya. Aneh, tapi sama sekali bukan dalam arti buruk. Sava menoleh. "A...Apa?"

"Apa panggilan itu terdengar kurang ajar di telinga Bu Sava?"

Sava lagi-lagi mengerjap.

Araz tersenyum penuh arti. "Kalau begitu aku akan memikirkannya dari sekarang."

Sava mengernyit heran. "Memikirkan apa?"

"Panggilan yang cocok untuk Bu Sava."

"Eh?"

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang