Bagian 11. Tingkap Rasa

684 57 0
                                    

Araz dan Sava duduk berhadapan di meja makan. Sava menyesap kopi sementara Araz meneguk jus buah.

"Bagaimana tangan kamu?" tanya Sava.

"Sebaiknya kita sarapan dulu," jawab Araz, berharap mengulur-ulur waktu walaupun tidak tahu kenapa ia melakukannya, toh pada akhirnya ia tetap harus memberikan penjelasan mengenai kondisi tangannya yang beberapa hari ini kembali sakit akibat melakoni pertandingan basket hari itu.

"Kamu jawab saja, masih sakit atau tidak?" kata Sava, menegaskan maksudnya, ia pun memasukkan sepotong telur orak-arik ke dalam mulut.

Araz meletakkan jus buahnya di atas meja dan menghela napas. Setelah diam sejenak dan menatap jari telunjuknya yang menelusuri pinggiran gelas, Araz berdeham dan berkata pelan, "Sepertinya ada sedikit masalah dengan tanganku setelah pertandingan itu. Kemarin, aku sudah cek ke dokter."

Sava terkesiap. "Lalu, apa kata dokter?"

"Ya, apa lagi?" gumam Araz tidak menunjukkan tanda-tanda hendak melanjutkan kata-katanya.

"Apa yang dokter katakan? Apa tangan kamu kambuh lagi?" tanya Sava sedikit menuntut.

Araz tidak menjawab.

"Araz?" panggil Sava.

Araz mengangkat wajah menatap Sava. "Bu Sava mau ke mana hari ini? Kalau Bu Sava mau pergi, usahakan Bu Sava masak dulu sebelum pergi. Jangan sampai aku mati kelaparan."

"Usahamu tidak berhasil," sela Sava dengan nada datar, "Sebaiknya kamu berhenti mengalihkan pembicaraan. Apa yang dokter katakan?"

Araz memberengut, lalu meraih garpu dan mulai menusuk-nusuk ayam gorengnya.

"Araz, Ibu tanya apa yang dokter katakan?" tanya Sava sekali lagi. Dia yakin ada yang tidak beres dengan tangan Araz.

Araz berhenti menusuk-nusuk telur. "Dokter bilang aku gak boleh mengangkat yang berat-berat dan gak boleh main basket dulu," jawab Araz dengan nada enggan. Dia tidak menatap Sava, tetapi menatap gelas jusnya di atas meja sambil menghela napas dalam-dalam. "Dokter bilang aku harus berhenti main basket kalau gak mau membuat kondisi tanganku semakin parah. Saat itu sebagian diriku ingin mengabaikan perintah dokter. Maksudku, aku mencintai olahraga yang satu ini. Aku mau bebas melakukan apa pun yang aku mau, termasuk main basket. Apa lagi yang bisa kulakukan kalau aku gak boleh main basket? Minggu depan ada pertandingan. Araz mendesah. "Tapi bagian diriku yang lain sadar kalau kondisiku yang seperti ini gak memungkinkan menjalani latihan keras setiap hari seperti yang dilakukan pemain lain tanpa mengalami serangan," jelas Araz tanpa sengaja ia berbicara panjang lebar.

Sava tersentuh mendengar keluh kesah Araz. Ini pertama kalinya ia mendengar Araz mengeluarkan isi hatinya. Sulit dipercaya jika Araz mungkin benar-benar sudah menerima kehadirannya.

Araz mengangkat wajah menatap Sava. Istrinya itu mengerjap menatapnya seolah-olah ia tidak percaya pada apa yang didengarnya tadi. Selama beberapa saat tidak ada yang bersuara. Sava tetap menatap Araz sementara Araz memalingkan wajah menatap ke arah lain. Kemudian suara Sava terdengar, "Apa yang bisa Ibu lakukan?"

Araz menatap Sava heran. Tidak biasanya Sava menawarkan diri membantunya karena biasanya Araz lah yang sering merepotkan Sava dengan meminta bantuan yang kurang masuk akal.

"Mau jalan-jalan?" ajak Sava.

Araz menggigit bibir sejenak, lalu berkata, "Bu Sava terlihat menakutkan kalau begini."

Sava tersenyum lalu berkata, "Setidaknya Ibu harus menghibur kamu saat kondisi kamu sedang tidak baik-baik saja."

"Aku malas ke mana-mana hari ini. Bu Sava aja yang pergi," tolak Araz. Biarlah ia dianggap sok jual mahal karena ia memang malas pergi kemana pun hari ini.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz