Bagian 6. Agak Lain

820 57 1
                                    

Araz menekan tuts yang menghasilkan nada mi rendah dengan telunjuk. Setelah beberapa detik, ia mengangkat jarinya. Lalu ia menekan tuts yang sama sekali lagi, menahannya sebentar, dan mengangkat jarinya lagi. Araz melakukannya berulang-ulang sampai hanya satu nada monoton menyedihkan itulah yang bergema di apartemennya yang sunyi.

Tadinya Araz berencana menghabiskan malamnya mengerjakan tugas Matematika yang diberikan oleh Pak Rahmat. Tetapi begitu ia duduk di depan piano, pikirannya mendadak buntu. Dia tidak bisa berkonsentrasi. Otaknya kosong melompong.

Sepi...

Bosan…

Lapar…

Araz bangkit dari kursi piano, berjalan ke dapur, dan memandang berkeliling. Sava belum pulang dari tempat kajian rutinnya. Ah, bagaimana istrinya itu bisa pulang cepat sedangkan berangkat pun baru satu jam yang lalu. Dia harus menunggu kepulangan Sava sekitar dua jam lagi. Dia menatap jam di dinding. Jam 08.05. Araz memejamkan mata dengan putus asa. Dan Araz sendiri tidak bisa menyiapkan makanan yang layak dengan satu tangan tanpa membuat dapur apartemennya menjadi kacau-balau. Dia tidak bisa menggoreng telur dengan satu tangan. Dia tidak bisa membuka makanan kaleng dengan satu tangan. Dia tidak bisa mengupas bawang dengan satu tangan. Araz tidak bisa melakukan apa pun dengan satu tangan. Dan kacaunya lagi Araz tidak bisa memasak.

Sebenarnya Araz mungkin bisa saja melakukannya jika mau mencoba. Masalahnya, ia terlalu malas. Karena selama menikah, Sava lah yang melakukan segala hal untuknya. Dan malam ini, istrinya itu tidak ada. Tidak ada orang yang bisa ia harapkan. Dia tidak mungkin memanggil Amar, Leo, Aufar, dan Niky sekarang.

Itulah alasan Araz uring-uringan.

Benarkah itu alasannya?

Sebenarnya bukan karena itu saja alasan Araz uring-uringan. Selama pernikahan mereka, meskipun dalam keadaan jengkel sekali pun, Sava tidak pernah melewatkan izin darinya untuk pergi ke kajian. Istrinya itu juga selalu pulang tepat waktu. Araz tidak pernah keberatan atau uring-uringan sebelumnya. Lalu, kenapa malam ini berbeda? Apakah karena Sava tidak bisa memegang janjinya agar selalu berada di sisinya?

Ah, bukan itu.

Tapi karena Sava akan bertemu pria-pria alim yang sengaja mengepakkan sayapnya di depan istrinya itu. Araz tertegun ketika pikiran itu berkelebat dalam benaknya. Apakah Sava sengaja meninggalkannya demi bertemu pria-pria alim itu dan membiarkannya kelaparan sendirian di sini, koreksi Araz dalam hati.

Itulah alasannya.

Araz kembali ke ruang tamu dan menghempaskan diri ke sofa. Matanya terpaku pada ponsel di atas meja. Araz bisa saja mendesak Sava pulang. Istrinya itu pasti akan segera muncul dari balik pintu apartemen. Ya, begitu lebih baik.

"Ya ampun. Gue kenapa, sih?!" Araz meracau kesal. Dia menekan remot televisi dan yang muncul di layar malah adegan suami istri yang sedang bertengkar karena orang ketiga.

Satu jam telah berlalu, Araz memutuskan mengirim pesan kepada Sava.

Masih lama?

Beberapa menit berlalu tidak ada balasan. Araz tetap menatap ponselnya dengan tajam, menunggu bunyi singkat yang menandakan pesan masuk. Kalau pandangan bisa menghancurkan sesuatu, ponsel Araz pasti sudah hancur lebur. Araz sedang berpikir apakah sebaiknya ia menelepon Sava secara langsung atau tidak. Ketika ponselnya akhirnya berbunyi, Araz cepat-cepat meraih ponselnya dan membaca pesan yang masuk. Memang dari Sava tetapi hanya satu kata.

Kenapa?

Kenapa? Sava bertanya kenapa? pikir Araz jengkel.

Karena aku lapar dan Ibu gak nyiapin makan malam sebelum pergi.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang