Bagian 9. Guru Baru

757 56 0
                                    

Araz membuka matanya yang berat dan duduk di ranjangnya dalam satu gerakan mulus. Dia menguap sejenak sebelum mengayunkan kakinya ke lantai dan melirik beker di samping tempat tidurnya. Jam 06.10. Araz mendesah pelan. Dia terlambat salat Subuh. Dia berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Araz membersihkan dirinya di sana lalu mengambil air wudu.

Tanpa Sava ketahui, perubahan Araz ini sudah terjadi sejak beberapa hari lalu. Kali ini Araz bersungguh-sungguh. Dia ingin berubah bukan karena Sava atau siapa pun. Satu-satunya alasan Araz harus berubah adalah dirinya sendiri. Dia tidak bisa seterusnya hidup dalam kemunafikan. Menafikan bahwa dirinya hanyalah seorang remaja yang kesepian yang ingin diperhatikan. Sava, perempuan yang kini menjadi istrinya, salah satu orang yang telah menyadarkannya.

Bohong jika Araz mengatakan bahwa ia sudah mahir dan fasih mengucapkan lantunan ayat suci Al-Qur'an ketika salat, bahkan gerakan salat pun jauh dari kata sempurna, tapi Araz sudah bertekad ingin belajar dengan sungguh-sungguh.

Apakah perlu menceritakan hal ini pada Sava dan meminta istrinya itu untuk mengajarinya salat dan membaca Al-Qur'an? Tidak. Araz pikir tidak. Dia tidak perlu menceritakan proses perubahan yang terjadi dalam dirinya pada Sava. Biarlah semuanya menjadi rahasia.

Selesai menunaikan kewajibannya, Araz keluar dari kamar. Dia bermaksud mengetuk pintu kamar Sava, namun begitu tangannya terangkat ke atas, aroma kopi yang harum menyerangnya. Itu berarti Sava sudah keluar dari kamar. Benar, Araz menemukan Sava di dapur, masih mengenakan piyama tidur motif bunga sakura, sangat cocok untuknya. Wajah Sava terlihat cerah dan segar.

Tunggu, sepertinya ada hal yang lebih menarik dari itu. Sava tidak mengenakan penutup kepala alias hijab. Apa perlu menyapanya? Araz berkecamuk. Ya, sepertinya ia harus mencobanya dan melihat reaksi Sava setelah itu.

"Sepertinya Bu Sava ketagihan membuat kopi," kata Araz seraya berjalan menghampiri Sava. Bisa ia lihat keterkejutan di wajah istrinya.

"Kenapa kamu keluar kamar sepagi ini?" tanya Sava. Dia menunduk dan tidak berani menatap Araz. Rasanya ingin kesal tapi seperti ada sesuatu yang menahannya. Lebih tepatnya ia tidak bisa kesal pada suaminya sendiri.

Araz bergumam tidak jelas dan menyandarkan punggungnya di pintu kulkas. Dia agak keki tapi tidak mau momen ini terlewatkan begitu saja.

"Sava, apa yang kamu lakukan?" gumam Sava pelan, merutuki dirinya sendiri. Dia bersiap ingin pergi tapi Araz menahannya dengan kalimat menohok.

"Kenapa risih begitu? Ini bukan yang pertama kan aku melihat Bu Sava gak pakai hijab? Jadi santai aja."

Araz mengamati wajah Sava dengan saksama. Sementara Sava menelan ludah pelan-pelan. Kenapa Araz bangun pagi sekali? pikirnya dalam hati. Namun, tidak ada cara yang lebih baik selain menghadapi situasi ini. Sava dengan percaya diri mengangkat wajahnya dan menatap balik ke wajah Araz.

"Tidurmu nyenyak semalam? Sepertinya begitu." Sava menatap tangan Araz. "Kamu bangun lebih pagi dari biasanya. Kemajuan yang pesat."

"Tentu. Bahkan pagi ini aku dapat hadiah yang besar," jawab Araz percaya diri.

Sava memejamkan matanya. Lalu, ia menghela napas panjang karena Araz kembali menyaksikan dirinya tanpa penutup kepala. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini, tapi Sava masih belum siap menunjukkan auratnya pada Araz, si suami remajanya.

"Baiklah. Berhubung kamu sudah melihatnya, jadi tutup saja mulutmu itu dan ini...." Sava menyerahkan segelas kopi ke hadapan Araz. "Nikmati kopimu."

Araz mengambil gelas kopi itu. "Ngomongnya santai aja, bisa kan? Gak perlu ngegas begitu, nanti cepat tua."

"Siapa yang ngegas?" Sava berkilah.

"Harusnya yang melihatnya laki-laki yang Bu Sava sukai, kan?" tanya Araz.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Where stories live. Discover now