Bagian 12. Merajuk

892 54 0
                                    

"Jadi kalian gak berhubungan setelah itu?" tanya Araz dengan alis berkerut.

Sava menggeleng dan tersenyum menyesal. "Dia sibuk dengan debutnya di perusahaan keluarganya, sedangkan Ibu fokus mengajar. Ibu dan teman-teman Ibu yang lain terlalu sibuk dengan kegiatan masing-masing."

Araz menatap Sava yang sepertinya masih melamunkan kisah masa lalunya. Dia tidak ingin bertanya, tetapi ia harus tahu. "Bu Sava yakin cuma teman baik?" tanya Araz dengan nada yang diusahakan terdengar ringan. "Sepertinya hubungan kalian lebih dari itu."

Sava tertawa kecil dan menatap Araz. "Kamu benar," akunya. Araz merasa perutnya menegang. "Dulu, Ibu sempat mengaguminya. Bagaimana tidak kagum? Pak Haris laki-laki yang menarik, berbakat, baik, dan teman yang penuh perhatian."

Terlalu banyak informasi, gerutu Araz dalam hati. Terlalu banyak informasi yang tidak ingin ia dengar. Jadi Sava pernah mengagumi Haris sebelumnya. Gagasan itu membuat Araz gelisah. Apakah perasaan kagum itu masih bertahan sampai sekarang?

"Ibu sangat percaya diri mengatakannya," gumam Araz sambil memberengut.

Sava terdiam, menarik napas sejenak, lalu berkata pelan, "Dia pernah menyatakan perasaannya pada Ibu. Dia sempat mau mengajak Ibu pacaran."

Lagi-lagi informasi yang tidak ingin Araz dengar. Araz menggertakkan rahang dan bertanya, "Terus?"

"Jawaban Ibu tentu saja tidak waktu itu. Ibu tidak suka pacaran. Lagian, pacaran itu dilarang dalam agama kita. Mau sebaik apa pun laki-laki, kalau dia mengajak pacaran, mending di skip aja." Sava mendongak dan tersenyum samar kepada Araz. "Papa juga orang yang tegas. Dia tidak mau Ibu pacaran. Kata Papa, pacaran itu setelah menikah, bukan sebelum menikah. Kalau pun memang ada yang suka, dia harus datang ke rumah dan bicara dengan Papa terlebih dahulu."

"Bagaimana dengan Bu Sava dan Bang Bian?" tanya Araz penasaran. "Kalian gak pacaran?" Demi membayar rasa penasarannya, Araz terpaksa menyebut nama Bian, berharap Sava tidak terbawa perasaan kali ini.

"Kamu penasaran?"

"Jawab aja."

"Abang kamu tidak cerita?"

"Enggak."

"Sebelum memutuskan menerima pinangan abang kamu, hubungan kami cuma sebatas teman, tidak lebih. Meskipun pada akhirnya kami saling menyukai, tapi abang kamu tidak pernah mengajak Ibu pacaran. Dia memegang teguh prinsipnya yang tidak mau pacaran sebelum adanya ijab kabul. Dia juga sering mengunjungi Papa saat Papa berada di Pondok Pesantren, membicarakan banyak hal di sana. Itulah yang membuat Papa akhirnya setuju Ibu menikah dengan abang kamu," jelas Sava panjang lebar.

Sebelum Araz sempat berbicara, seorang pelayan datang membawa dua buah spageti dan meletakkannya di atas meja. Ini memang menjengkelkan, Araz pun merasa kehilangan. Dia berusaha menutupi perasaannya yang aneh. Ketika pelayan itu sudah pergi, Araz bersiap dengan satu pertanyaan lagi. Namun sebelum mengeluarkan sebuah kalimat dari mulutnya, seseorang memanggil nama Sava. Araz dan Sava menoleh. Seorang laki-laki jangkung, ramping, dan berambut gelap berhenti melangkah di hadapan mereka dan tersenyum lebar.

"Kamu di sini?" tanya laki-laki itu. Mata cokelatnya menatap Sava yang terlihat mematung. Perlahan-lahan sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas, membentuk seulas senyum yang sangat menawan. "Araz? Kamu di sini juga?"

Sava mengerjap sekali, "Haris.." katanya pelan.

Sejujurnya Araz tidak menyukai kedatangan Haris. Dia mengambil garpu dan memutar-mutar spagetinya. Baru saja ia dan Sava membahasnya, seketika Haris langsung muncul di depan matanya.

"Boleh aku duduk?" tanya Haris.

Sava menatap sekilas wajah Araz yang nampak masam. Dia tahu Araz tidak menyukai kedatangan Haris.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Where stories live. Discover now