Bagian 14. Bagaikan Berjalan Di Atas Pasir

662 55 0
                                    

Sava tersenyum kecil dan memalingkan wajah ke luar jendela taksi yang buram karena hujan. Hujan mulai mereda menjadi gerimis yang tidak pernah gagal membuat Sava merasa nyaman. Dia suka hujan. Memandangi hujan menenangkan jiwanya. Sungguh besar karunia Allah yang telah menurunkan hujan sebagai rahmat yang diperlukan untuk semua makhluk.

Sama seperti menghabiskan waktu bersama Araz. Sava menggigit bibir dan melirik laki-laki yang sedang duduk disebelahnya. Menghabiskan waktu bersama Araz juga selalu membuatnya merasa... tenang? Sava tidak bisa memikirkan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Pokoknya apa pun yang dirasakannya setiap kali bersama Araz membuatnya bisa bernapas lebih lega, memberi warna baru, duka sepeninggal Bian pun perlahan sembuh, membuatnya seolah-olah bisa memejamkan mata dan beristirahat sejenak tanpa perlu mencemaskan apa pun. Seperti itulah.

"Aku gak ngerti kenapa hari ini Bu Sava belanja banyak sekali." Araz menggerutu.

"Memangnya kamu sendiri tidak banyak belanja?" Sava balas bertanya dan melirik barang belanjaan yang dipegang oleh araz.

"Ya, itu beda. Aku cuma beli alat cukur, parfum, snack dan minuman kaleng, sedangkan Bu Sava membeli keperluan dapur banyak sekali," sahut Araz.

"Mumpung hari ini tidak banyak pengunjung. Ibu tidam suka berdesak-desakan dan terjepit di antara kerumunan orang. Lagian, ini untuk persediaan kita selama dua minggu," kata Sava.

"Oke, oke.. Aku pikir Bu Sava harus mentraktirku makan hari ini."

Sava terkekeh pelan. "Tadi siang kamu sudah banyak makan, sekarang masih mau makan lagi? Kamu tidak takut gendut?"

"Enggak. Apa Bu Sava mau mentraktirku makan malam?"

Sava mengangkat bahu. "Tidak masalah. Karena seharian ini kita sudah jalan-jalan, terus kamu sudah bersedia menemani Ibu belanja, Ibu rasa tidak adil kalau Ibu tidak mentraktirmu makan malam."

"Istri yang baik," kata Araz dengan bangga. Sava tersenyum kecil lalu menoleh kembali ke luar jendela taksi.

Hari ini benar-benar hari yang indah. Setidaknya itulah yang dipikirkan Araz Meskipun suhu udara hari ini sangat dingin, meskipun langit mendung, dan meskipun hujan sudah mulai turun sejak ia dan Sava meninggalkan apartemennya pagi tadi, Araz tetap merasa hari ini tidak mungkin lebih sempurna lagi.

Bagaimana tidak? Hari ini tangannya sudah dinyatakan sembuh seperti sediakala oleh dokter. Dia bisa menggerakkan pergelangan tangannya tanpa masalah dan bisa bermain basket kembali, serta mengendarai motornya. Ah, tiba-tiba ia merindukan motornya.

Alasan lainnya adalah hari ini ia bisa pergi bersama Sava. Dan Araz merasa dunianya utuh kembali. Hari ini Araz tidak akan memikirkan pertanyaan dari teman-temannya yang akhir-akhir ini sangat gencar mengganggunya dengan pertanyaan, rahasia apa yang kamu sembunyikan dari kami? Ah, mereka harus bersabar sedikit lagi sampai Araz benar-benar siap untuk bercerita.

"Akhir-akhir ini kamu semakin jarang main dengan teman-teman kamu. Apa mereka tidak masalah soal itu?" tanya Sava membuka kembali pembicaraannya bersama Araz.

"Mereka baik-baik saja. Lagian jadwalku sangat padat akhir-akhir ini. Aku belajar mengaji, pergi ke tempat kajian, belajar jadi imam yang baik, dan masih banyak lagi," jelas Araz panjang lebar.

Sava tersenyum mendengarnya. "Alhamdulillah.. Tapi, kamu mengerjakannya dengan ikhlas, kan?" tanyanya.

"Insyaallah ikhlas," jawab Araz.

"Kenapa Insyaallah?" Sava mengernyit heran.

"Insyallah aja dulu, nanti juga jadi Alhamdulillah." Araz menatap Sava, lalu tersenyum kecil.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang