Bagian 22. La Tahzan

629 47 0
                                    

"Bu Sava, mari kita berpisah."

Baru selangkah menginjakkan kakinya di apartemen, Sava langsung disambut dengan perkataan Araz yang mengejutkan. Dia mengerutkan dahi sempitnya ketika kalimat itu terudara dari bibir tipis milik Araz.

"Ber.. berpisah?" Dengan terbata-bata Sava bertanya, memastikan bahwa apa yang ia dengar tidak salah.

Araz merespon pertanyaan Sava dengan anggukan. Hening merambati ruang hampa di antara mereka, menjadikan deru napas sebagai satu-satunya suara yang cukup kentara bersahutan di dalam sana. Sava mengarahkan pandangan pada piano miliknya yang ia rasa sudah berdebu semenjak kepergiannya beberapa hari, memperhatikan tuts yang berderet itu satu persatu tanpa jeda. Berusaha menghilangkan suara ribut yang dia dengar di dalam kepalanya, hingga Sava sendiri tidak menyadari tangan kanannya bergerak mencengkram ujung kerudungnya. Berharap jika cengkraman yang dia kerahkan di sana akan membantu mengusir kerunyaman yang mengerumuni pikirannya.

Araz mencuri sebuah lirikan ke arah Sava dengan rasa khawatir di ujung mata. Sava tampak kacau, hingga Araz putuskan untuk mendekati wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu dengan perlahan-lahan. Sudah hampir satu minggu terakhir ini Araz tidak bertemu dengan Sava. Dan selama satu minggu terakhir ini pula ia berulang kali ingin menelepon istrinya itu, tetapi akhirnya selalu tidak jadi. Kenapa? Karena ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada Sava. Aku jelas-jelas sudah menghindarinya, kan? pikir Araz. Bisa dikatakan begitu. Berada di dekat Sava hanya akan membuat Araz semakin merasa bersalah.

"Bu Sava, berhentilah menyakiti diri sendiri," kata Araz dengan nada memohon.

Sava mendongak ke arah Araz dan menatapnya lekat-lekat. "Apakah ini yang kamu inginkan?"

Araz mengangguk ragu, lalu berkata, "Seperti yang Bu Sava katakan sebelumnya, masa depanku masih panjang. Dan kini mimpiku berubah lagi, aku mau melanjutkan studiku di Jerman. Aku gak mau status pernikahan membebaniku."

Kata-kata yang baru saja Araz ucapkan bagai sebuah mata pisau tajam yang mengenai dada Sava. Sakit tak tergambarkan. "Jadi selama ini kamu menganggap Ibu apa?"

Araz menundukkan pandangannya, berusaha mengusir kesedihan yang perlahan-lahan datang menggerogoti hatinya. "Bukankah ini yang terbaik bagi kita berdua? Dari awal pernikahan ini sudah salah. Aku dan Bu Sava punya banyak perbedaan. Dengan berpisah, Bu Sava gak lagi merasa terbebani hidup bersamaku. Bu Sava gak perlu lagi memaksakan diri untuk hidup bersama orang lemah sepertiku. Orang sepertiku gak pantas bersanding dengan Bu Sava. Jadi, mari kita berpisah dan akhiri cukup sampai di sini."

Tanpa terasa air mata mengucur deras di pelupuk mata Sava. "Apa kamu tahu? Ibu datang kemari karena Ibu mau memperbaiki hubungan kita. Ibu mau tinggal bersama-sama kamu lagi. Bahkan setiap malam Ibu tidak bisa tidur karena memikirkanmu. Apakah kamu sudah makan? Apakah kamu masih pulang larut malam? Apakah kamu masih pulang dalam keadaan mabuk? Apakah kamu terurus dengan baik? Tapi sepertinya kamu baik-baik saja. Malah kamu terlihat lebih bahagia tanpa kehadiran Ibu," katanya sambil terisak.

Araz mengepal tangannya kuat-kuat. Dia tidak marah mendengar ucapan Sava, tapi ia marah pada dirinya sendiri karena telah mengeluarkan kata-kata kejam didepan Sava. Maka dari itu, ia sekuat tenaga menahan diri untuk tidak memeluk Sava. Sebenarnya Araz berat mengatakan kata pisah karena ia sendiri enggan berpisah dengan Sava, tapi keadaan membuatnya sampai pada keputusan itu. Dia tidak ingin Sava hidup tersiksa bersamanya. Dia tidak ingin memaksa Sava mencintainya dan ia tidak ingin pula memaksa Sava menerima segala kekurangannya.

Araz menatap Sava lekat-lekat. "Aku akan bicara dengan orangtuaku dan orangtua Bu Sava tentang perceraian kita. Bu Sava tenang saja, kita gak perlu repot pergi ke pengadilan karena kita hanya menikah secara agama waktu itu. Mulai hari ini kemasi barang-barang Bu Sava, karena aku gak mau melihat barang-barang Bu Sava ada di sini."

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora