Bagian 21. Man Shabara Zhafira

598 43 0
                                    

Ibu Mawar baru selesai mengajar dan sedang berjalan menyusuri koridor ke arah tangga ketika mendengar suara isak tangis yang berasal dari salah satu ruang kelas di sebelah kirinya. Tahu bahwa ruang kelas itu adalah ruangan yang sering digunakan Sava dan mengingat Sava tidak ada di ruang guru siang ini, Ibu Mawar menghampiri pintu dan mengintip ke dalam dari jendela kaca di pintu. Dia mengangkat alis heran ketika melihat Sava sedang menyandarkan kepalanya di dinding belakangnya dengan mata sembab.

"Bu Sava?" panggil Ibu Mawar sambil membuka pintu dan melangkah masuk. "Sedang apa Bu Sava di sini?"

Sava tersentak dan menoleh. "Oh, Ibu Mawar. Kelas Ibu Mawar sudah bubar?" tanya Sava sambil tersenyum.

Ibu Mawar mengerjap heran melihat mata Sava yang sembap dan hidungnya yang merah. Apakah Sava benar-benar menangis? Gagasan iu terasa sangat asing bagi Ibu Mawar karena selama mengenal Sava, ia tidak pernah sekali pun melihat Sava menangis. Jika ditelisik kembali, ia bahkan tidak pernah melihat Sava berwajah muram. Sava selalu terlihat tenang. Selalu.

"Bu Sava, ada apa?" tanya Ibu Mawar khawatir. "Bu Sava terlihat..."

Sava tertawa kecil dan mengibaskan sebelah tangan. "Aku tidak apa-apa," sahutnya ringan. Lalu, ia menunjuk hidungnya dan berkata, "Ini gara-gara alergi."

"Oh, begitu." Ibu Mawar tersenyum mengerti dan tidak mendesak Sava lagi. Benar, Sava tidak mungkin menangis, pikirnya yakin. "Entah kenapa, aku merasa anak-anak banyak yang bersikap aneh akhir-akhir ini."

"Maksud Ibu Mawar?" tanya Sava.

"Araz dan Rio," gumam Ibu Mawar. "Sepertinya mereka semakin dekat saja. Sebenarnya tidak masalah kalau mereka jadi teman, tapi..." Ibu Mawar memutuskan untuk tidak melanjutkan ucapannya.

Sava menghela napasnya. "Entah kenapa semuanya terasa aneh."

"Aneh?"

Sava tersenyum kecil. "Bukan apa-apa."

"Oh ya, bukannya Bu Sava dekat dengan Araz, ya? Apa Bu Sava pernah bertanya padanya, kenapa dia bisa berubah drastis semenjak berteman dengan Rio?" tanya Ibu Mawar penasaran.

Mendengar nama Araz disebut membuat Sava merasa sedih. Sudah berhari-hari ia meninggalkan apartemen suaminya itu. Sebenarnya ia berat meninggalkan Araz, akan tetapi ia ingin memberi Araz pelajaran berharga, berharap suaminya itu bisa merenungkan sikapanya selama ketiadaan dirinya di apartemen.

"Entahlah.. Dia tidak pernah cerita apa-apa," jawab Sava.

Tadinya Ibu Mawar berharap mendengar cerita yang lebih mendetail tentang Araz dan Rio, tetapi sepertinya hari ini Sava sedang tidak ingin bicara panjang-lebar. Jadi Ibu Mawar pun mengalihkan pembicaraan. "Oh ya, hari ini aku belum melihat Pak Haris."

Sava tersenyum samar. "Jadwal mengajar Pak Haris cukup padat hari ini."

"Betul juga, hari ini hari Kamis, kan?" Ibu Mawar tertawa kecil, lalu kembali berkata, "Bu Sava dan Pak Haris itu cocok."

"Ibu Mawar berlebihan," sahut Sava.

Ibu Mawar mengernyitkan kening dengan heran. Lalu ia bertanya dengan hati-hati, "Apa Pak Haris pernah menunjukkan sinyal-sinyal pada Bu Sava?"

Sava tidak menjawab, tetapi Ibu Mawar melihatnya mengernyit samar. "Kita bicarakan hal lain saja," gumam Sava.

Sikap Sava menguatkan dugaan Ibu Mawar bahwa Haris memang pernah menunjukkan sinyal-sinyal suka kepada Sava. Tetapi ia bukan orang yang suka ikut campur, jadi Ibu Mawar tidak memaksa. "Baiklah," kata Ibu Mawar dengan nada ceria. "Bagaimana kalau kita pergi makan?"

Sava mengernyit lagi. "Maaf, aku..."

"Halo, ladies." Sapaan riang yang berasal dari pintu memotong kata-kata Sava.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang