Bagian 19. Permusuhan vs Harga Diri

537 43 0
                                    

Suasananya terasa aneh ketika Araz pulang ke apartemen malam ini. Aneh karena ia tidak pernah menduga akan terasa sesepi ini. Ketika ia masuk ke apartemennya dan menyalakan lampu, ia memandang ke sekeliling apartemennya dan mendesah. Kenapa apartemennya terasa begitu... kosong?

Tadinya Araz berharap, walaupun ia tahu kemungkinan harapannya terkabul sangat tipis, dan bisa dikatakan hampir tidak ada, tetapi ia tetap berharap Sava akan menyambut kedatangannya dan mendengar suara lembut istrinya itu, "Kamu sudah pulang?" ketika ia membuka pintu. Dia berharap Sava mengecup punggung tangannya seperti yang biasa ia lakukan.

Araz mematung di depan pintu kamar Sava. Dia tahu Sava ada di dalam kamar, sengaja menyembunyikan diri darinya. Padahal Araz sangat membutuhkan kehadiran istrinya itu untuk menjernihkan kepalanya. Ini tidak masuk akal. Araz pun beranjak dari pintu kamar Sava dan masuk ke dalam kamarnya, memutuskan untuk tidur lebih awal dan berharap besok bisa kembali seperti sediakala. Tetapi tidak, harapannya bisa saja tidak terkabul jika Sava masih marah padanya.

Tadi siang, Araz berusaha mengendalikan emosinya ketika berhadapan dengan Rio. Dia berusaha keras tidak memukul wajah Rio. Dia berusaha menahan diri dan perasaannya sama sekali tidak membaik ketika Rio berani merendahkan Sava didepannya. Merendahkan Sava sama saja merendahkan harga dirinya dan Araz merasa dirinya semakin kehilangan akal sehat jika yang merendahkan Sava itu adalah Rio, musuhnya di sekolah.

Bunyi ponsel mengoceh konsentrasi Araz yang sedari tadi berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dia meraih ponselnya yang berbunyi dengan malas-malasan. Dia menatap ke layar ponselnya dan tertera nama Niky di sana. Dia pun memutuskan untuk menjawabnya.

"Assalamualaikum. Ada apa?"

Lalu, suara Niky balas bertanya, "Waalaikumsalam. Lo baik-baik saja?"

Araz mendesah. "Apa gue terdengar baik-baik saja sekarang? Sudah dulu, gue gak mau diganggu!" tegasnya.

Suara Niky kembali terdengar. "Ayolah, kita perlu bicara, Raz. Ini masalah geng kita dan si Rio. Gue rasa ini ada sangkut pautnya juga dengan Bu Sava."

Dengan terpaksa Araz mendengarkan Niky bicara.

"Kita harus melakukan sesuatu, Raz. Si Rio pasti sedang di atas angin sekarang. Dia memegang kartu AS lo dan Bu Sava."

Araz menghela napas berat. "Rio belum tahu tentang pernikahan gue, dia cuma tahu kalau gue jadi simpanan Bu Sava."

"Si brengsek itu!" Niky mengumpat kesal. "Kalau sampai dia mengumumkan kepada orang-orang, tamat riwayat lo, Raz. Lo dan Bu Sava bisa dikeluarkan dari sekolah."

"Gue gak masalah kalau gue yang dikeluarkan, tapi Bu Sava, dia gak boleh dikeluarkan dari sekolah."

Ayolah, Araz merasa sakit kepala sekarang. Meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang seorang pelajar untuk menikah, tapi tetap saja setiap sekolah memiliki peraturannya masing-masing. Dan Araz tahu betul bahwa SMA Harapan II tidak memperbolehkan siswanya menikah selama berstatus sebagai pelajar aktif di sekolah. Pihak sekolah menganggap dampak pernikahan saat masih berstatus sebagai pelajar adalah kegagalan dalam dunia pendidikan. Jika siswanya kedapatan melakukan pelanggaran, maka siswa tersebut harus siap angkat kaki dari sekolah.

Terdengar helaan napas dari Niky. "Gue ngerti perasaan lo. Tapi gue rasa, lo perlu mendiskusikan masalah ini dengan Bu Sava."

Araz mendesah panjang lalu mengernyit. "Gue gak bisa melakukan itu. Gue gak mau menambah beban pikirannya, Ky."

"Astaga, Raz. Sepertinya jiwa dan raga lo sudah berubah mengenaskan gara-gara kejadian tadi siang.  Dan lo masih saja mempertahankan argumen lo itu dengan alasan takut menambah beban pikiran Bu Sava?" tanya Niky dengan nada tidak percaya.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang