Bagian 24. Menjemputmu Kembali [END]

1.4K 62 9
                                    

5 Tahun Kemudian

Leipzig City, Jerman.

Sore itu, kawasan Mädlerpassage terlihat sangat ramai. Tak hanya para pengunjung yang sedang sibuk berbelanja, tapi juga para pengunjung yang baru saja tiba di Leipzig dengan koper-koper dan ransel mereka. Meski suhu udara musim panas menerjang, tak ada satu pun sudut yang sepi di pelataran Mädlerpassage. Bagi Araz, Leipzig tak terasa seperti Jerman. Leipzig terasa seperti negara lain yang berbeda dari Jerman.

Araz baru saja selesai mengurus keberangkatannya ke Indonesia. Mengisi kekosongan pada liburan musim panas kali ini, ia memutuskan pulang ke tanah kelahirannya. Sebenarnya ia bisa saja mengisi liburannya dengan mengambil beberapa praktikum di salah satu rumah sakit di sana, namun rasa rindunya terhadap tanah kelahiran begitu sulit ia bendung.

Lima tahun menjadi mahasiswa di Leipzig University bukanlah waktu yang singkat bagi Araz. Banyak hal yang harus ia lalui di tempat yang sebenarnya sangat asing. Menjadi seorang dokter tentu saja membutuhkan usaha dan proses yang sangat panjang. Dia hampir saja menyerah karena ia sama sekali tidak mengerti basic untuk menjadi seorang dokter. Namun, ia tetap ingin berusaha, bagaimanapun prosesnya dan sepanjang apa pun itu, ia tetap ingin menjalaninya.

Hari semakin sore, Leipzig pun semakin temaram. Dengan menggunakan jasa trem, Araz kembali ke Studentenwohnheim. Orang-orang di Jerman sering menyebutnya dengan asrama mahasiswa. Asrama mahasiswa menjadi pilihan favorit karena harganya terjangkau dibandingkan menyewa apartemen privat.

Karena namanya "asrama mahasiswa", maka hanya mahasiswa Leipzig University saja yang diperbolehkan mengajukan lamaran untuk tinggal di sana. Ya, di Jerman apabila ingin tinggal di asrama, harus mengajukan lamaran yang berisi formulir berupa data pribadi dan surat pernyataan dari universitas terlebih dahulu. Surat pernyataan itu dijadikan bukti bahwa mahasiswa memang benar-benar sedang kuliah di sana.

Araz tinggal di asrama mahasiswa yang terdiri dari tiga kamar, dua kamar mandi, dan satu dapur. Di sana ia tinggal bersama dua orang mahasiswa yang keduanya berasal dari Jerman. Mereka sering pulang ke rumah masing-masing pada hari Jumat, kemudian kembali lagi ke asrama pada hari Minggu.

Tinggal di asrama mahasiswa di Jerman memang banyak sekali suka dan dukanya, tapi setidaknya Araz bisa belajar banyak. Karena latar budaya yang berbeda dan menjadi minoritas, ia belajar makna toleransi. Dia juga belajar betapa pentingnya berkompromi dan tidak membesar-besarkan masalah. Dan seiring berjalannya waktu, Araz menjadi terbiasa dengan lingkungan di sana.

Araz membuka pintu asrama dan mendapati Kevin, lebih tepatnya Kevin Kampl, sedang memainkan sebuah gitar di ruang tamu. Laki-laki itu tidak sendiri, ia ditemani Janis Blaswich. Janis tidak bisa bernyanyi, tapi ia suka mendengarkan musik. Dia suka saat Kevin memainkan gitar untuknya.

"Kevin scheint es sehr einfach zu sein, die Gitarre für jeden Song zu lernen, den er gerade gehört hat, das ist großartig," kata Araz, memuji Kevin yang begitu mahir memainkan gitar.

Janis mengangguk. "Ja, wenn Dinge wie Hobbys einfacher sind. Probieren Sie es mit Ihren Hobbys aus, Sie werden es nie schwer finden und sind immer von neuen Dingen abhängig."

Araz tersenyum lebar, lalu berkata, "Richtig."

Kevin memandang ke arah Araz tanpa berhenti memainkan gitarnya. "Das ist ein Hobby, es wird sich sehr einfach und gerne anfühlen."

"Hast du schon Pläne für den Sommer?" tanya Janis kepada Araz.

Araz kembali tersenyum. "I will spend the summer in my country," jawabnya.

"What??!" Kevin dan Janis sontak bangkit dari duduk mereka.

Araz merasa lucu melihat ekspresi Kevin dan Janis, mengingatkanya pada teman-teman lamanya.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Where stories live. Discover now