Bagian 8. Sekelebat Rasa

735 61 0
                                    

Kini tangan Araz tidak lagi dibebat. Dia sudah bisa menggerakkan pergelangan tangannya sedikit demi sedikit. Dokter mengatakan tangan Araz akan segera sembuh total. Suatu kemajuan yang nyata. Semua orang menyambut baik berita itu. Dan Araz meyakini orang yang paling senang tangannya mengalami  kemajuan adalah Sava. Dengan begitu, Sava tidak perlu lagi membuang-buang waktu berharganya untuk selalu stay 24 jam bersama Araz.

Seperti tiga hari yang telah ia lalui semenjak dokter mengatakan ia akan sembuh total, Sava pelan-pelan mulai mengurangi kebiasaannya merawat Araz. Sava tidak lagi membantunya mandi, tidak lagi menyuapinya makan, bahkan intensitas percakapan mereka perlahan mulai berkurang. Semuanya seakan kembali dalam kondisi normal. Ya, sepertinya begitu.

Araz menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa dan menatap langit-langit di ruangan dorm, tempat biasa ia berkumpul bersama teman-temannya. Dia benar-benar lelah. Yang diinginkannya hanya pulang dan beristirahat. Tapi ia enggan beranjak sedikit pun dari dorm. Pada akhirnya Araz hanya mendengus kesal.

Araz berulang kali ingin menelepon Sava, tetapi akhirnya selalu tidak jadi. Kenapa? Karena ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada istrinya itu. Apakah ia terksesan sedang menghindari Sava? Bisa dikatakan seperti itu. Sava membuat perasaannya kacau. Berada di dekat Sava membuat Araz bingung. Dia tidak mengerti apa yang diinginkannya dan apa yang dirasakannya.

Meskipun begitu, Araz tetap ingin berdebat dengan Sava. Dia ingin mendengar suara kesalnya, bahkan amarahnya sekali pun. Demi Tuhan, jangan tanya kenapa, karena Araz sendiri tidak mengerti dan tidak mau memikirkannya terlalu jauh.

Araz mengeluarkan ponselnya dan menatap benda itu selama beberapa saat. Dia sedang berpikir apakah sebaiknya menelepon Sava atau tidak ketika sesuatu terpikirkan olehnya, "Kenapa Bu Sava gak berusaha menghubunginya hari ini?"

Araz memberengut memikirkan pertanyaan itu. Kalau Sava memang tulus ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dan ingin membantu Araz, seharusnya ia bertanggungjawab sampai akhir, seharusnya ia menelopon Araz untuk memastikan Araz baik-baik saja, bukan? Seharusnya Sava menelepon Araz dan bertanya apakah Araz masih lama di luar? Seharusnya begitu, bukan?

Kerutan di kening Araz semakin dalam sementara ia menatap ponselnya seolah-olah ponselnya sudah melakukan kesalahan besar padanya. Mungkin Sava sudah tiba di apartemen atau mungkin Sava sedang bersenang-senang saat ini, karena akhirnya ia punya waktu luang untuk melakukan apa pun yang ingin dilakukannya. 

"Lo kenapa?" tanya Aufar. Semenjak tangan Araz berangsur pulih, bukan raut bahagia yang terpancar di wajah temannya, melainkan wajah suram.

Araz tidak menjawab pertanyaan Aufar. Hal itu membuat tanda tanya besar di benak teman-temannya. Amar menatap Leo, Aufar, dan Niky bergantian. Sepertinya selain suka balapan dan ahli bermain basket, melamun adalah keahlian baru Araz selanjutnya.

"Minggu depan kita melawan SMA 01 Jaya. Gimana? Apa lo siap?" Leo berusaha memecah kebuntuan.

Araz mengembuskan napasnya dalam diam.

"Gak usah dipaksain, Raz. Kalau tangan lo belum siap, masih banyak yang bisa gantiin lo. Tapi, lo bisa menebak sendiri kalau yang gantiin lo itu pasti si anak kelas sebelah," kata Aufar.

Anak kelas sebelah yang dimaksud Aufar adalah Rio Irawan. Rio bisa dikatakan saingan Araz di SMA Harapan II. Rio termasuk siswa yang susah di atur dan suka membolos. Sama halnya dengan Araz, Rio juga menyukai basket dan suka keluyuran malam. Perbedaannya Araz dan teman-temannya masih bisa mengontrol keliaran mereka di malam hari sedangkan Rio dan teman-temannya tidak.

Niky mengangguk setuju. "Dia bermain sangat egois."

"Kalian tenang aja, selama ada gue, tim basket kita pasti bisa mengalahkan SMA 01 Jaya yang terkenal haus gelar itu," sahut Amar dengan percaya diri.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Where stories live. Discover now