Bagian 1. Kelakuan Araz

1.6K 95 1
                                    

Amar bersenandung pelan sambil melihat ke kiri dan ke kanan sebelum motor besar yang ia tunggangi menyeberangi jalan ke arah salah satu bangunan yang besar menjulang. Langit kota Jakarta terlihat cerah, secerah suasana hati Amar sendiri. Hari yang indah selalu bisa membuat semua orang gembira, bukan?

Tapi, Amar yakin ada seseorang yang sama sekali tidak menyadari langit kota Jakarta sedang cerah-cerahnya hari ini. Tidak sadar dan tidak peduli. seseorang itu adalah Ar Razka Hendra Wijaya, si ketua Geng Laskar sekaligus kapten basket SMA Harapan II.

Amar yakin Araz terlalu sibuk untuk menyadari apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Dua minggu yang lalu, Araz kehilangan kakak kandung yang sangat ia sayangi untuk selamanya. Selama itu pula ia tidak masuk sekolah. Dan seperti biasa, ketika Araz sibuk menyendiri, ia jarang menjawab telepon dan jarang meluangkan waktunya yang berharga untuk membalas pesan atau semacamnya. Karena itu, Amar dan teman-temannya memutuskan pergi menemui Araz secara langsung di apartemennya. Setidaknya untuk memastikan bahwa Araz masih hidup. Sekaligus untuk memastikan sahabatnya itu tidak membuat

Amar berlari-lari kecil menaiki anak tangga di depan gedung, masih tetap bersiul pelan. Disusul setelahnya Leo, Aufar dan Niky. Mereka baru saja hendak menekan bel interkom apartemen di lantai empat ketika pintu depan terbuka dan seorang wanita beserta seorang anak perempuan kecil keluar dari gedung. Tangan Amar terulur menahan pintu tetap terbuka sementara pasangan Ibu dan anak itu berlalu dan menuruni tangga sambil bercakap-cakap. Empat sekawan itu melangkah masuk ke dalam gedung dan pintu depan pun tertutup serta terkunci secara otomatis di belakangnya. Satu menit kemudian, mereka sudah berdiri di depan pintu bercat putih dilantai empat dan tangan Amar terangkat menekan bel. Pintu baru dibuka setelah Leo menekan bel untuk ketiga kalinya. Raut wajah Araz yang berdiri di ambang pintu menegaskan dugaan Amar bahwa suasana hati sahabatnya itu memang tidak terlalu ceria.

"Hei, bro!" Amar tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tangan untuk menyapa.

Araz menatap sahabatnya dengan alis berkerut samar. "Kalian rupanya," gumamnya, lalu melangkah ke samping membiarkan ketiga sahabatnya masuk.

"Memangnya siapa lagi? Kami kangen sama lo," sahut Amar ringkas dan berjalan ke ruang tamu yang luas dan rapi, diikuti Aufar, Leo, dan, Niky.

"Jijik!" gumam Araz membatin.

Cahaya matahari menembus kaca jendela yang berderet di salah satu sisi ruangan, membuat ruangan itu terasa hangat, terang, dan sangat nyaman. Ruang tamu itu dilengkapi sofa besar yang empuk, dua kursi berlengan, dan meja rendah dari kayu di tengah-tengah ruangan. Lantainya berlapis karpet tebal. Rak yang dipenuhi berbagai jenis buku, kebanyakan buku novel dan buku pengetahuan menutupi salah satu dinding di sana. Amar juga melirik piano hitam yang berdiri di sisi lain ruangan. Piano itu dalam keadaan tertutup.

"Gue tahu lo masih berduka, bro. Tapi gak gini juga," celetuk Amar.

Araz menatap Amar heran kemudian mengikuti arah pandangan sahabatnya itu lalu menyadari sesuatu. "Oh, itu. Itu.."

Aufar, Leo, dan Niky ikut memandang deretan buku yang berjejer rapi itu kemudian pandangan mereka berhenti tepat ke arah piano. Mereka hampir ternganga bersamaan dengan pemandangan baru yang mereka lihat itu.

"Sejak kapan lo suka baca novel, bro?" Niky bangkit dari duduknya dan memeriksa satu persatu buku yang ada di rak buku itu.

Aufar berjalan mendekati piano dan menekannya sehingga menimbulkan suara di ruangan itu. Araz memang pernah memberitahu mereka bahwa Bian memang penyuka musik, tapi Araz tidak pernah mengatakan lebih detail tentang alat musik kesukaan mendiang kakaknya itu. Dan novel-novel itu, Araz pun tak pernah membahasnya sama sekali.

"Ketika Cinta Bertasbih.. Ayat-Ayat Cinta.. Merah Jambu.. Wow, ada Titanic juga, bro! Ah mending nonton filmnya aja, sih," kata Niky sambil membolak-balik novel Titanic di tangannya.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora