Bagian 13. Secarik Kertas Penuh Makna

745 55 0
                                    

"Kenapa Bu Sava melamun sambil tersenyum seperti itu? Apa ada hal besar yang baru saja terjadi?"

Sava mengerjap dan mendongak, menatap Ibu Mawar yang duduk di hadapannya. "Maaf, apa kata Ibu Mawar tadi?" tanya Sava.

Ibu Mawar mendesah dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Nah, aku benar. Bu Sava tidak mendengar sepatah kata pun yang aku ucapkan sejak tadi."

Sava tidak membantah. Dia hanya tersenyum meminta maaf dan menyesap tehnya perlahan-lahan.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Va?" Kali ini Haris bertanya. Dia baru saja datang dan langsung menghampiri meja kerja Sava.

Sava menoleh ke arah Haris. "Eh? Tidak ada. Tidak melamunkan apa-apa."

Ibu Mawar mencondongkan tubuh ke depan dan menatap Sava lurus-lurus. "Bu Sava terlihat bahagia akhir-akhir ini. Bu Sava berubah lebih ceria. Bu Sava juga sering melamun sambil tersenyum tidak jelas. Bu Sava juga....." Ibu Mawar menghentikan kata-katanya dan menarik napas. "Dengar, aku tidak akan mendesak Bu Sava memberitahuku apa yang mengganggu pikiran  Bu Sava. Tapi, aku cuma mau memberi saran kalau Bu Sava butuh seseorang untuk diajak bicara, aku ada di sini."

Sava menelan ludah dan berusaha menarik napas dengan susah payah. Jantungnya meletup-letup. Sebelah tangannya terangkat ke dada sementara ia memaksakan seulas senyum kepada Ibu Mawar. "Ah, terima kasih."

Ibu Mawar balas tersenyum lebar dan mengalihkan pembicaraan. "Jadi apa ini ada hubungannya dengan Pak Haris?"

Sava kaget mendengar ucapan Ibu Mawar, sementara Haris nampak salah tingkah.

"Kalian berdua pasangan serasi," kelakar Ibu Mawar di akhiri tawa ringan.

"Kami cuma berteman." Sava meluruskan kesalahpahaman yang keluar dari mulut Ibu Mawar.

Haris sedikit kecewa, tapi mengangguk setuju. "Ya, kami cuma berteman."

"Mengingat kalian sering menghabiskan waktu di sekolah bersama akhir-akhir ini, aku jadi bertanya-tanya, apakah kalian memang hanya sebatas berteman saja?" goda Ibu Mawar.

"Bersama? Bu Mawar jangan bicara seperti itu, nanti orang-orang bisa salah paham. Kami cuma berteman," jelas Sava. "Pak Haris masih baru mengajar di sini, jadi kupikir tidak ada salahnya aku membantunya beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Lagi pula, kami ini teman lama dan sudah seharusnya saling membantu."

"Ya sudah, aku doakan kalian berjodoh kalau begitu hehe.." Ibu Mawar tertawa ringan lalu kembali ke tempatnya.

Sava menghembuskan napas pelan. Dia risih jika Ibu Mawar terus menganggap dirinya ada hubungan dengan Haris, padahal kenyataannya tidak.

"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Haris.

Sava mengangguk kecil.

"Apa kamu sering berangkat ke sekolah bersama Araz?" Haris nampak penasaran dan menantikan jawaban Sava.

Sava mendadak gugup. Dia takut salah bicara di depan Haris. "Memangnya kenapa?" tanyanya.

"Kalian sangat dekat," jawab Haris, seolah tidak puas dengan jawaban Sava.

Sava tidak berkomentar namun ia hanya tersenyum kecil. Dia mendesah dalam hati ketika ponselnya mendadak berbunyi. Sava mengeluarkan ponsel dari tas dan tertegun menatap nama yang muncul di layar.

"Dari siapa?" tanya Haris penasaran.

"Eh? Bukan dari siapa-siapa," jawab Sava berdalih.

Sava meletakkan ponselnya di atas meja, membiarkannya terus berbunyi dan bergetar. Pada akhirnya deringan itu akan berhenti dan Sava akan membiarkannya berhenti berdering dengan sendirinya. Dia tidak akan menjawab telepon itu. Dia tidak ingin menjawabnya saat semua pasang mata mengawasi gerak-geriknya.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Where stories live. Discover now