Epilog

1.5K 72 11
                                    

Tentang seseorang di pintu Sang Kekasih

dan mengetuk. Ada suara bertanya, "Siapa di sana?"

Dia menjawab, "Ini Aku."

Sang suara berkata, "Tak ada ruang untuk Aku dan Kamu."

Pintu tetap tertutup

Setelah setahun kesunyian dan kehilangan, dia kembali dan mengetuk lagi.

Suara dari dalam bertanya, "Siapa di sana?"

Dia berkata, "Inilah Engkau."

Maka, sang pintu pun terbuka untuknya.

[Jalaluddin Rumi]

▪︎▪︎■■▪︎▪︎

Araz mendapati dirinya belum juga terlelap. Akan tetapi, ada satu hal yang tidak pernah luput ia buntuti dari sebuah laptop yang terus menyala riang. Dia selalu menyempatkan diri untuk membuka folder lama. Di sana, dengan rapinya tersimpan deretan foto seorang wanita yang berhasil menaklukkan hatinya.

Senyumnya selalu membekas di hati Araz. Hidungnya begitu mancung, panjangnya hampir setengah jari manisnya. Bola matanya memiliki daya tarik yang dapat memicu bahagia. Dan, Araz adalah sosok yang senantiasa selalu terpesona.

Araz percaya, perjuangan hati yang lebih mengandalkan tangan-tangan Allah tidak pernah berakhir kecewa. Setelah sembilan puluh sembilan butir tasbih telah selesai menyebut asma Allah, nama Alsava Indah Ghassani tidak pernah absen ia sebut disetiap curahan hatinya kepada Sang Maha Kuasa. Hingga hubungan mereka yang awalnya berjarak sejauh rentang Alif dan Ya', menjadi sedekat jarak Dal dan Dzal.

"Mas Araz belum tidur?"

Araz menatap ke arah tempat tidur. Senyumnya mengembang ketika menyadari seorang wanita terjaga dari tidurnya. Dengan segera ia berjalan menuju ke tempat wanita itu berada. Dia rapikan kembali selimut tebal yang membungkus tubuh wanita itu.

"Bagaimana aku bisa tidur setelah melihat deretan fotomu? Sampai sekarang aku masih tidak percaya bisa memilikimu seutuhnya. Seperti mimpi. Aku takut terbangun dari mimpiku dan mendapati kamu tidak ada disisiku."

Senyum Sava mengembang setelah mendengar perkataan Araz. "Ini nyata, bukan mimpi."

Araz membaringkan tubuhnya disamping Sava dan menatap langit-langit kamar mereka seraya mengenang peristiwa satu bulan yang lalu. "Kalau aku tidak kembali waktu itu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin saja kamu sudah dimiliki orang lain dan hidupku mungkin akan dihantui rasa penyesalan yang teramat besar."

"Allah maha baik. Aku juga salut dengan perjuangan Mas meyakinkan papa dan mama. Aku pikir Mas akan menyerah begitu saja." Sava tersenyum manis sambil membayangkan perjuangan Araz meluluhkan hati papa dan mamanya. Bukan sesuatu yang mudah pikirnya karena saat itu tingkat percaya papa kepada Araz masih dua puluh persen.

"Mas mu ini mana mungkin menyerah begitu saja? Bahkan kalau kamu benar-benar menerima pinangan Haris waktu itu, begitu aku kembali dari Jerman, aku pasti akan meneror kalian setiap hari," kata Araz begitu percaya diri ditambah dengan wajah horornya yang dibuat-buat.

"Astagfirullah, Mas Araz..." tegur Sava. Dia merinding mendengar perkataan Araz yang tergolong menakutkan itu.

Araz terkekeh melihat wajah Sava yang ketakutan setelah mendengar perkataannya. "Bercanda, sayang...."

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Where stories live. Discover now