Bagian 4. Jatuh Dari Tangga

1K 78 0
                                    

Pelajaran olahraga telah berakhir. Pak Johan selaku guru olahraga memerintahkan anak didiknya untuk meninggalkan lapangan. Di saat siswa yang lain kompak meninggalkan lapangan, namun tidak bagi Araz dan teman-temannya. Mereka tetap bertahan di lapangan.

"Tadi malam kenapa gak ngumpul bareng kita?" tanya Aufar pada Araz.

"Sibuk," jawab Araz singkat.

Araz tidak bisa keluar dari apartemen karena tadi malam Papa Aiman dan Mama Arafah datang, kemudian berujung menginap. Seandainya mereka mengetahui kebiasaan Araz yang suka keluyuran malam dan suka nongkrong di tempat yang tidak pantas, semuanya akan runyam. Papa Aiman akan menyidangnya jika sampai itu terjadi.

"Memangnya lo sibuk apa? Biasanya juga sibuk sama kita di dorm," timpal Amar dengan wajah penasaran.

"Tahu, nih. Semenjak abang lo meninggal, lo jadi jarang main sama kita. Move on lah, Raz. Abang lo udah tenang di sana," sahut Niky.

"Jarang main apanya? Kemarin itu kita sempat main di dorm, kan?" Araz masih ingat betul karena setelah kepulangannya dari tempat itu, ia bertengkar dengan Sava.

"Sekali itu doang, Raz. Biasanya juga tiap hari," keluh Leo.

Araz menghela napas panjang. Perkataan teman-temannya memang benar. Araz semakin jarang berkumpul dengan mereka, terutama setelah ia menikah dengan Sava.

"Ah, atau begini aja. Gimana kalau kita main ke apartemen lo aja?" saran Leo.

"Gak perlu. Kita bisa main di luar," jawab Araz cepat. Dia tidak mungkin membawa teman-temannya ke apartemen. Rahasia besarnya bisa terbongkar jika ia membiarkan teman-temannya keluar masuk apartemennya.

"Ya udah, kalau gitu malam ini kita ke tempat biasa. Udah lama nih gue gak lihat yang semok-semok." Amar menautkan jari telunjuknya sembari membayangkan hal-hal kotor di kepalanya.

"Otak lo ya, Mar. Rasanya mau gue belah aja tuh sekalian!" celetuk Aufar sambil geleng-geleng kepala.

"Ngapain lo mau belah otak gue? Emangnya otak gue duren main belah-belah aja?" Amar nampak sewot dengan komentar Aufar.

Aufar memicing lalu berkata, "Gue mau cuci otak lo pakai deterjen. Sekalian sama pemutih biar otak lo suci, gak kotor lagi."

"Sembarangan, lo! Yang ada otak lo nanti yang gue cuci pakai sambal. Biar panas tuh otak lo!" sambar Amar tak terima.

Araz tersenyum tipis. Amar dan Aufar memang suka berdebat.

"Udah, ayo balik ke kelas!" seru Araz.

Araz beranjak dari tempatnya, diikuti teman-temannya dari belakang. Mereka menapaki anak tangga menuju ke lantai atas. Setelah ini masih ada mata pelajaran Matematika di kelas mereka.

"Lo udah mengerjakan tugas dari Pak Rahmat, Raz?" tanya Leo.

Sebelum Araz sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara terkesiap keras dari atas mereka, disusul bunyi keras. Mereka berdua serentak mendongak. Semuanya terjadi begitu cepat sehingga Araz sama sekali tidak melihat apa yang terjadi. Sesuatu terjatuh dari lantai atas, menubruknya dengan keras, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling di tangga.

"Araz!"

Araz mendengar seruan Amar sebelum dirinya mendarat di lantai dan kepalanya membentur sesuatu yang keras. Pandangannya menggelap sesaat dan kegelapan serasa berputar-putar di balik kelopak matanya. Sesuatu yang besar menindihnya. Dia tidak bisa bicara. Dia hampir tidak bisa bernapas.

"Araz! Araz, lo gak apa-apa?"

Araz mendengar suara Amar dan Leo yang cemas, tetapi ia tidak bisa menjawab.

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang