Bagian 17. Melangitkan Doa

628 62 0
                                    

Araz mendongak dan menatap wajah teman-temannya yang duduk di hadapannya tanpa berkedip. Kekhawatiran Sava memang tepat sasaran seperti yang istrinya itu bayangkan sebelumnya. Dan Sava memang merasa seolah-olah hampir pingsan, jantungnya serasa ingin meledak detik itu juga.

Sebelum Aufar sempat membuka mulut, Araz cepat-cepat berkata, "Gue tahu apa yang ada di kepala kalian." Ia berhenti sejenak, lalu bertanya ragu, "Gue mau kalian merahasiakan ini dari orang-orang, terutama semua orang di sekolah. Kalian bisa melakukannya?"

Sava mengerjap satu kali, seolah-olah baru tersadar dari lamunan. Perlahan-lahan ia mengembuskan napas yang ternyata ditahannya sejak tadi dan bergumam, "Ibu minta maaf yang sebesar-besarnya pada kalian semua. Ibu tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan semuanya pada kalian."

"Tadi itu bukan pemandangan yang bagus," kata Aufar, lalu melirik sekilas ke jari manis Sava, lalu menatap jari manis Araz setelahnya. Cincin mereka memiliki desain yang sama. Apakah...?

"Ibu tahu. Ibu benar-benar minta maaf," kata Sava, berharap mereka tidak berpikir negatif tentangnya dan Araz.

Berbeda dengan Amar, Aufar, dan Leo yang masih berkutat dengan isi kepala mereka, Niky malah menunjukkan reaksi yang sebaliknya. Dia memang sempat terkesiap saat mengetahui apa yang dilakukan Araz dan Sava di dapur, tapi setelah itu ia terlihat tenang kembali, seolah berbangga diri bahwa asumsinya saat di meja makan beberapa menit yang lalu memang benar adanya.

"Kami minta penjelasan dari lo, Raz. Apa yang sebenarnya terjadi, huh? Kenapa lo memeluk Bu Sava tadi?" tanya Amar penuh selidik.

Araz menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya tersenyum kepada teman-temannya. "Kami sudah menikah," akunya. Dia meraih tangan Sava dan memperlihatkan cincin pernikahan di jari manis istrinya itu. "Bu Sava istri gue sekarang," jelas Araz mempertegas kalimatnya.

Amar, Aufar, dan Leo terkejut mengetahui kebenaran itu. Amar bahkan sampai bangkit dari duduknya. Dia tidak menyangka Araz secara terbuka mengatakan bahwa ia telah menikah dengan Sava. Dia tertegun dan menatap cincin yang ada di jari manis Sava dengan hati setengah kecut.

"Katakan ini bukan mimpi, Far?!" Amar berjalan bolak balik mengitari sofa. Berharap ini hanyalah mimpi di sore hari, tapi entah kenapa semuanya terlihat nyata untuknya. Tepat di detik berikutnya ia baru menyadari bahwa itu bukanlah mimpi, tapi kenyataan.

"Ini benar-benar berita mengejutkan. Gue gak habis pikir, Raz. Bagaimana bisa?" Aufar mengernyit keheranan.

Sava kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia baru tersadar dari lamunannya ketika Araz menggenggam tangannya erat.

Leo menatap ke arah Niky yang nampak tenang-tenang saja, seolah tidak terkejut mendengar pengakuan Araz. "Ky, lo kenapa diam? Apa jangan-jangan lo sudah tahu, huh?"

Amar dan Aufar ikut memandang ke arah Niky. Mereka curiga jika Niky sudah mengetahuinya sejak awal. Namun Niky yang sadar mendapatkan tatapan curiga dari teman-temannya dengan cepat membantahnya.

"Gue baru tahu hari ini," terang Niky, membuat Araz dan Sava terperanjat. "Demi Allah gue gak bohong. Gue baru tahu hari ini," tegasnya.

"Lo tahu hari ini, tapi lo diam saja. Luar biasa, Ky. Lo hebat!" sahut Amar dengan nada kecewa.

"Gue gak cerita karena gue masih berusaha yakin kalau apa yang gue lihat di meja makan itu salah, Mar. Tapi ternyata tebakan gue itu benar," jawab Niky membela diri.

Leo menatap ke arah piano dan buku-buku yang tersusun rapi di rak buku ruang tamu. Dia bisa menebak siapa pemilik barang-barang itu sebenarnya. Kemudian ia menatap Araz dan berkata, "Sebenarnya gue kecewa sama lo, Raz. Lo gak bilang apa-apa sama kami tentang pernikahan lo dan Bu Sava."

Ms. Sava My Schatzi [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang