2

330 60 2
                                    

Matematika. Pelajaran yang paling aku benci. Bukan karena apa, otakku ini tidak mampu berpikir rumit. Aku pasti akan cepat pusing padahal baru membaca soalnya. Akhir-akhir ini juga aku makin sering melupakan sesuatu. Pulpen yang sedang aku pegang juga kadang lupa, apalagi rumus matematika.

Karena kemarin guru memberikan materi baru, maka hari ini diberikan tugas untuk mengecek sudah seberapa paham materi yang disampaikan. Kalau kalian tanya aku perhatikan atau tidak, jelas jawabannya tidak. Guru baru saja menulis beberapa angka di papan tulis kepalaku sudah pusing. Walaupun aku mendengarkan tapi satupun tidak ada yang masuk ke otak.

Aku melirik kiri kanan. Teman yang lain pada serius mengerjakan. Ada yang sedang mengajarkan teman lainnya. Ada yang mengerjakan sambil bersenda gurau. Ada yang bertanya pada guru. Ada yang bermain handphone. Ada yang santai saja. Bahkan ada yang tidur. Itu Theo.

Cowok itu tiap pelajaran matematika pasti tidak jauh-jauh dari tidur. Katanya pusing. Dan beruntungnya Theo tidak pernah ketauan. Tiap guru lewat entah kenapa dia refleks terbangun dan mencoret asal bukunya. Aku sampai geleng-geleng kepala, kepekaannya luar biasa.

"Kamu kalau pusing tidur aja. Lagian gak ada yang masuk ke otak. Daripada sakit mending tidur." Itu kata Theo tadi sebelum mulai memasuki alam mimpi.

Aku menggeleng. Mana bisa aku tidur sedangkan guru sering berkeliling memeriksa kerjaan muridnya. Kepekaanku ada di bawah rata-rata, yang ada aku ketahuan tidur dan harus mengerjakan satu soal di papan tulis.

"Tara kenapa bukunya kosong?" tanya guru padaku.

Dan ajaibnya, sebelum guru tersebut bertanya padaku Theo terbangun. Langsung pura-pura melihat papan tulis yang di mana soalnya tertulis di situ.

"Gak tau caranya, Bu," ucapku pelan karena tenggorokanku masih sakit.

"Ibu ajarin lagi, ya. Theo sini sekalian. Ibu tau kamu gak tau apa-apa karena tidur terus. Kamu pikir Ibu gak tau apa? Kemarin-kemarin Ibu maklumi karena kondisi kamu. Tapi, mulai sekarang gak ada toleransi lagi," ucap guru dengan tegas. Theo hanya nyengir malu.

Akhirnya aku dan Theo pindah duduk ke meja guru di depan. Sebelumnya kami meminjam lagi dua kursi untuk duduk saling berhadapan dengan guru. Aku dan Theo mendapatkan kelas privat sekarang.

Ada mungkin sekitar 20 menit guru menjelaskan. Aku banyak lupa. Sedangkan Theo menahan kantuk. Butuh perjuangan keras supaya kami benar-benar mengerti. Semua ini karena kapasitas otak kami yang tidak memadai.

"Lah gak bisa? Nomor satu gampang loh. Mirip kayak yang diajarin kemarin, cuma beda angka," sahut salah satu teman kelas, Julian namanya.

Theo yang terpancing memicing padanya. "Lo kan tau kapasitas otak gue sama lo beda. Ya, jangan kaget," ucap Theo kesal.

"Woooh, santai bro. Canda, canda," balas Julian dengan tertawa mengejek.

Theo jadi kebawa emosi. Dapat aku lihat rahangnya mengeras. Tangannya terkepal. Aissh, padahal satu kelas tahu kalau Theo itu gampang emosi, tapi masih saja diganggu.

"Sudah, sudah. Kalian berdua sudah paham belum?" tanya guru. Sukses membuat perhatian Theo teralih padanya.

Aku mengangguk kecil sambil berkata lumayan. Setidaknya aku mengerti sedikit. Tapi entahlah, mungkin nanti akan lupa di tengah-tengah. Pokoknya ada yang aku mengerti sedikit.

Theo menggeleng. "Gak paham, Bu. Otak saya nolak buat memahaminya. Ini kenapa bisa gini, dapat ini darimana, cara ngitungnya juga saya gak paham."

"Nah, makanya Ibu ajarin. Ini mau Ibu ajarin lagi. Pokoknya sampai ada yang masuk ke otak."

(end) imperfect - Taerae Onde as histórias ganham vida. Descobre agora