11 (Flashback)

180 42 2
                                    

Happy Reading

Theo's side

Papa memang jarang pulang ke rumah. Aku tahu. Papa sibuk. Mencari uang untuk aku dan Mama makan. Tapi tetap saja. Aku bosan harus bermain masak-masakan dengan Mama. Aku kan laki-laki. Masa main masak masakan.

Hari juga Papa lembur. Aku dan Mama pergi ke rumah sakit mengantarkan makanan untuk Papa. Tapi Papa tidak ada di ruangannya. Aku disuruh Mama menunggu di dalam dan Mama akan berkeliling bertanya pada suster atau siapapun. Soalnya Papa ditelpon tidak diangkat.

Aku menggoyangkan kaki bosan. Ruangan kerja Papa lumayan besar. Jaketnya di tempatkan asal di kursi. Beberapa kertas, entah kertas apa, berhamburan di dekat lemari, entah lemari apa. Meja kerja Papa juga berantakan. Pensil, pulpen dan kertas berhamburan. Yang rapi hanya foto kecil kami. Aku, Papa dan Mama.

Aku tidak tahu sudah menunggu berapa lama. Pokoknya lama. Aku bosan. Karena itu aku keluar dari ruangan Papa. Keliling saja. Aku kan sudah besar. Kalau nyasar, tinggal minta tolong suster yang lewat.

Begitu keluar, tidak terlalu banyak orang. Mereka kebanyakan pakai baju pasien dan baju perawat.

"Dek? Kok sendiri? Orang tuanya mana?" Aku menoleh ke arah suara. Ternyata nenek nenek. Memakai baju pasien dan duduk di kursi roda.

"Bosan nunggu Papa. Jadinya Theo jalan-jalan." Nenek itu mengelus kepalaku sambil tersenyum. "Temanin Nenek jalan mau gak?" Aku mengangguk semangat. Tidak menolak sama sekali.

Akhirnya aku dan Nenek jalan berdua. Aku di samping Nenek. Nenek banyak sekali cerita ini itu. Tapi aku tidak mengerti sama sekali apa yang nenek bicarakan. Waktu aku tanya apa, Nenek bilang nanti kalau aku sudah besar bakal ngerti. Tapi kan aku sudah besar. Kenapa aku tidak mengerti ya?

"Theo, jangan jadi orang yang gengsian dengan orang yang kamu sayang nanti ya, Nak? Harus jujur dengan perasaan. Kalau Theo gengsian, nanti dia juga gengsi sama Theo."

"Dia siapa, Nek?"

"Orang yang bakal Theo sayang nanti. Sampai Theo mau berikan dunia buat dia."

"Dia cantik gak, Nek?"

Nenek tertawa pelan. "Banget. Mau dia kayak gimanapun, di mata Theo dia tetap paling cantik."

Aku mengangguk saja. Aku tidak tahu siapa dia. Tapi yang ada dipikiran ku adalah Mama. Nenek kan bilang orang yang aku sayang. Itu Mama. Tapi kok Nenek bilang orang yang aku sayang nanti? Aku kan sayang Mama sekarang bukan nanti. Apa maksudnya bukan Mama?

"Satu lagi pesan Nenek kalau nanti Theo sudah ketemu dia, jangan lupa senyum terus. Jangan lupa usap kepalanya. Peluk dia sering-sering. Kalau mau cium, cium aja di pipi atau kening ya? Itu tandanya Theo sayang sama dia."

Aku terus saja mengangguk apa yang Nenek bicarakan. Entah paham atau tidak itu belakangan.

Dan sampailah aku dan Nenek di persimpangan. Kalau lurus menuju gedung rawat inap. Ke kiri masuk ke bagian dalam rumah sakit. Ke kanan arah IGD dan UGD. Hehe, keren 'kan aku hapal? Soalnya aku kan sudah kelas 5 SD.

Aku dan Nenek berhenti cukup lama di sana. Aku memperhatikan sekeliling. Banyak perawat lalu lalang jalan berdua dengan pasiennya di kursi roda. Ada juga orang-orang yang berpakaian biasa, paling mengunjungi keluarga yang rawat inap. Dan ada satu lagi. Anak perempuan. Mungkin seumuranku. Memakai pakaian pasien. Sedang duduk di kursi—yang memang ada di perempatan—dengan tiang infus di sampingnya.

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now