15 (Flashback)

106 27 1
                                    

Happy Reading

Bodoh.

Gegabah.

Gila.

Aku gila.

Ucapanku barusan membuat Tara diam seribu bahasa. Ia memandangku bingung. Selanjutnya ia menghindari kontak mataku. Kepalanya bergerak ke sana kemari. Menghindariku.

Dan bodohnya aku tetap saja berdiri di sampingnya. Seperti ada lem yang membuat kakiku tak bisa berpindah barang satu mili pun.

Akhirnya setelah menunggu cukup lama, Tara menghadapku. Tapi pandangannya ke bawah. Ia menunjukkan mulutnya, kemudian membuat tanda silang dengan jarinya.

Maksudnya? Tara tidak bisa bicara? Atau tidak mau menjawab? Atau aku ditolak.

Aku masih diam. Sampai Tara menunjuk dirinya sendiri, kemudian membuat tanda silang dengan tangannya sambil menggeleng. Terakhir membuat isyarat bicara dengan jarinya. Aku tidak bisa bicara.

"Suara kamu hilang?" tanyaku. Tara mengangguk, masih dengan pandangannya yang ke bawah.

Oh Tuhan. Aku harus apa?

Bodo amat. Mumpung suara Tara hilang, jadi tidak aneh kalau kami tidak bicara. Canggung ya canggung saja. Kalau ada yang bertanya kenapa diam-diam, bilang saja suara Tara hilang.

"Aku suka kamu. Lagu yang aku nyanyiin tadi benar-benar isi hati aku. Aku senang setiap dekat kamu, jalan berdua sama kamu, duduk berdua sama kamu. Apapun itu kalau sama kamu aku suka."

Entahlah aku bicara apa sekarang. Apapun yang mau ucapkan keluar begitu saja tanpa berpikir. Kepalaku sudah tidak bisa lagi harus bagaimana bagusnya. Intinya aku ngelantur.

Aku terus saja bicara hal-hal yang tidak penting. Sampai-sampai aku tidak ingat sedang bicara apa sekarang.

Dan Tara hanya bengong. Menunduk. Memainkan jarinya.

Oh Tuhan. Aku kenapa?

—IMPERFECT—

Semuanya berakhir sia-sia.

Aku dan Tara sudah pulang ke rumah masing-masing. Setelah kejadian kemarin, aku tidak berbicara dengan Tara. Malu. Ditambah Tara juga belum bisa bicara. Jadilah aku memunggunginya sampai kami pulang.

Selama diperjalanan pulang aku terus menghela napas. Membuat Mama khawatir dan terus bertanya apa ada yang sakit. Aku hanya menggeleng lemah, beralih memperhatikan jalanan yang ramai oleh orang-orang.

Aku pulang saat jam makan siang. Soalnya Papa hanya ada waktu saat ishoma. Aku tahu, jalanan pasti akan macet. Jam segini memang lagi sibuk-sibuknya. Ada yang berjalan kaki atau membawa motor sambil memakai baju koko dan sarung. Ada juga yang menggunakan seragam kantor, seragam guru dan orang-orang berseragam lainnya. Tapi, yang paling banyak adalah anak sekolahan. Kebanyakan dari anak SD.

Jalanan macet. Ada mungkin hampir 5 menit mobil yang Papa kendarai maju sebentar-sebentar terus. Di depan ada persimpangan. Itulah penyebabnya. Lampu merah dengan waktu yang tidak masuk akal—60 detik—membuat antrean panjang. Seharusnya kalau lampu merahnya lama, lampu hijaunya juga harus lebih lama. Dari yang aku lihat tadi, waktu untuk lampu hijau cuma 15 detik.

Tapi bagus juga dengan adanya antrean kemacetan ini. Aku jadi lebih bisa berpikir banyak hal. Merenungkan semua hal bodoh yang aku lakukan kemarin.

Satu saja harapanku. Tara masih mau berteman denganku.

Tidak apa ditolak, tidak apa. Aku masih punya kesempatan lain kali.

Mungkin besok aku harus menghubungi Tara dulu. Meminta maaf atas perbuatanku yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman. Bertemu di sekolah, mencoba bersikap biasa saja tapi ditambah lebih banyak perhatian.

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now