4

230 49 1
                                    

Happy reading 🫶🏼

"

Stadium 4."

Lenggang sejenak. Tidak ada yang berbicara. Hanya suara detik jarum jam yang terdengar.

"Siapa?" tanya Mama ragu-ragu.

Lenggang lagi. Pasti berat untuk memberitahukannya. Terdengar Dokter Haidar menghela napas berat. "Keduanya," jawab Dokter Haidar pelan.

Ah. Kukira hanya aku. Ternyata Theo juga.

Kali ini keheningan memeluk. Ada mungkin sekitar tiga menit lenggang sampai isakan Mama terdengar ditelingaku. Disusul isakan Mama Theo. Hatiku mencelos. Sakit sekali rasanya. Air mataku sudah menumpuk, siap untuk meluncur turun.

Aku memandang ke samping tempat Theo berbaring. Dia masih pingsan, atau tidur? Entahlah. Yang pastinya ia belum sadar sama sekali. Melihat wajah pucat Theo berhasil meloloskan air mataku. Turun begitu deras. Aku menangis tanpa suara. Tidak ingin ada yang mendengar.

Di ruangan ini hanya ada aku dan Theo. Dan percakapan Dokter Haidar dengan orang tuaku dan orang tua Theo ada di luar ruangan, di lorong. Entah kenapa mereka memilih untuk berbicara di depan pintu yang di mana aku dapat mendengar jelas pengakuan menyakitkan itu.

Mungkin mereka mengira aku belum sadar, jadinya tidak masalah berbicara di sana.

Kalau stadium 4, berarti hidupku tidak lama lagi. Aku tidak masalah, mungkin itu yang terbaik. Tapi Theo? Aku tidak sanggup kalau dia juga harus pergi sama sepertiku. Apalagi kalau sampai dia pergi lebih dulu daripada aku. Tidak, jangan sampai itu terjadi. Harus aku yang pergi lebih dulu.

Aku mengusap air mataku. Takut kalau tiba-tiba pintu terbuka dan Mama melihatku menangis. Yang ada aku membuat Mama semakin khawatir.

Benar saja. Tak lama setelah itu pintu dibuka. Aku melirik pada Mama yang sedang mengusap air matanya. Mama sepertinya terkejut melihatku sudah bangun. Ia tersenyum, tapi sedih juga disaat bersamaan. Aku balas tersenyum, pura-pura tidak tahu apa-apa.

"Gimana perasaan kamu sekarang? Ada yang sakit gak?" tanya Mama lembut.

Aku menggeleng. "Mama kok nangis? Emangnya Dokter bilang apa?" Pertanyaan basa-basi. Pasti Mama berbohong. Ia tidak akan berkata yang sebenarnya. Aku tahu itu.

"Mama senang kamu udah bangun. Dokter cuma bilang kamu kecapean, jadinya nge-drop." Benar kan? Mama pasti bohong.

"Theo juga?" Mama mengangguk.

Baiklah aku akan pura-pura lagi kalau aku dan Theo hanya nge-drop karena kecapean, bukan karena penyakitku dan Theo yang semakin memburuk.

—IMPERFECT—

Esoknya aku dan Theo sudah diperbolehkan pulang. Tapi karena orang tua Theo tiba-tiba mendapat tugas keluar kota, cowok itu akan menginap di apartemenku beberapa hari.

Theo awalnya menolak, takut merepotkan. Katanya mending di rumahnya sendiri, nanti juga dia akan meminta Julian untuk menginap di rumahnya. Mama jelas menolak. Mana bisa dia membiarkan Theo yang sudah stadium 4 sendiri di rumahnya. Apalagi yang menjaganya Julian, jadi mending di apartemenku saja.

"Maaf Om, Tante, kalau ngerepotin," ucap Theo begitu kami sampai di depan pintu apartemen.

"Gak ngerepotin lah. Kamu juga udah kami anggap seperti keluarga sendiri, anggap saja rumah sendiri," balas Papa.

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now