13 (Flashback)

132 28 1
                                    

Happy Reading

"Kanker otak stadium dua."

Semua membatu. Baik yang ada di dalam ruangan dan kami yang berada di luar. Di sekitar kami rasanya dingin mendadak. Suasana berubah tidak menyenangkan.

Temanku menepuk pundak ku beberapa kali. Dia tampak terkejut. "Theo, gue pulang dulu," bisiknya. Seorangnya lagi pun juga ikut pulang.

Aku hanya memperhatikan kepergian keduanya. Mereka sepertinya syok dan tidak menyangka.

"Siapa?" tanya mama Tara. Dokter Haidar menghela napas kasar. Lagi.

Prasangka kemarin ternyata benar. Lagipula, tidak mungkin aku baik-baik saja kalau sampai kejang-kejang seperti itu. Pikiranku kosong tiba-tiba. Entah apa jadinya kehidupanku setelah ini.

Bruk. Aku menoleh ke arah suara. Tara jatuh terduduk. Aku langsung berlutut di samping Tara. Memegang bahunya yang bergetar pelan. Pintu ruangan Dokter Haidar tiba-tiba dibuka begitu saja. Memperlihatkan kami berdua di depan pintu. Tara yang terduduk dan mulai terisak, dan aku yang melihat semua orang dengan mata mereka yang merah sembab.

Mama langsung memelukku. Begitu juga Mama Tara, langsung memeluk Tara. Keduanya menangis dalam pelukan. Tangisan pilu. Aku yang awalnya tidak bisa menangis, begitu mendengar suara tangisan Mama, dadaku bergemuruh. Mataku panas dan mulai berair. Dan akhirnya aku menangis.

Situasi paling menyakitkan yang pernah aku alami. Rasanya seperti dadaku ditusuk panah berkali-kali dan aku masih tetap hidup. Sakit. Ngilu. Pedih.

Hari ini adalah hari paling menyakitkan untuk kami semua.

—IMPERFECT—

Keesokan harinya, semua banyak berubah. Dari sikap Mama dan Papa, juga sikapku sendiri. Seharian kami saling diam. Walaupun Mama terus berjaga di kamar, tidak ada percakapan yang dilontarkan.

Kami sekeluarga belum menerima kenyataan. Aku sakit. Parah malah. Walaupun baru stadium dua, tetap saja parah. Apalagi ini kanker.

Menjelang malam, Mama izin keluar. Ada yang mau diurus di rumah. Aku mengangguk tanpa menoleh, membiarkan Mama pergi. Sebelum pergi Mama menciumi kepalaku dan mengusapnya beberapa kali.

Ruangan kembali hening. Hanya ada aku dan Tara di sini. Entah kenapa orang tua Tara tidak nampak seharian ini, dia juga tidak bicara sama sepertiku. Yang ia lakukan hanya berbaring, memainkan handphone membelakangiku.

Aku mencoba tidur. Tapi tidak bisa. Ada mungkin 5 menit aku berguling ke sana sini, mencari posisi tidur yang nyaman.

"Theo," panggil Tara lemah. Aku berhenti berguling, memandang Tara yang melihatku sayu.

"Kenapa?" tanyaku. Dan Tara menggeleng. Ia kemudian melihat langit-langit ruangan.

"Mau ke taman gak?" ajaknya tiba-tiba.

Dan berakhirlah kami di sini. Taman rumah sakit. Biasa saja seperti taman lainnya. Cuma sekarang gelap karena sudah malam. Lampu yang ada di sini tidak banyak dan tidak terang juga. Di tengah taman ada kolam ikan. Kalau tidak salah ikannya ikan koi. Sekitar kolam dikelilingi batu cukup tinggi sebagai pembatas.

Kursi untuk duduk-duduk juga lumayan banyak. Cuma agak basah karena tadi sore sempat hujan gerimis. Untungnya Tara bawa sapu tangan. Tara mengelap kursi untuk kami duduk. Jadi tidak basah.

Tidak tahu kenapa, langit malam ini begitu cerah. Banyak bintang bertaburan. Bersinar terang. Ada juga yang berkedip-kedip. Malam seperti kanvas hitam yang ditaburi berlian kecil. Mempesona.

(end) imperfect - Taerae Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang