17

97 29 1
                                    

Happy Reading

Dan terjadi lagi. Aku masuk rumah sakit lagi. Begitu juga Theo. Ya, mungkin memang seharusnya kami tidak sekolah saja hari itu. Akhirnya sekarang masuk rumah sakit lagi karene nge-drop. Dari yang samar-samar aku dengar, katanya kami terlalu semangat berakhir kelelahan.

Aku tidak sadarkan diri hampir sehari semalam. Aku tidak menyangka selama itu. Rasanya seperti baru tidur 15 menit yang lalu. Dan begitu bangun sekarang aku sudah mengantuk lagi.

Jam menunjukkan pukul 3 pagi. Mataku awas melihat sekeliling. Lampu redup, suara angin AC, detik jarum jam, cahaya bulan yang merembes masuk dari jendela, bau khas rumah sakit, dan Theo yang sedang terlelap memunggungiku.

Cowok itu seperti sudah sadar, kemudian tertidur lagi. Kenapa aku tahu? Karena Theo berbaring memunggungiku. Theo punya kebiasaan, kalau tidur pasti menghadap kanan atau kiri. Tidak pernah terlentang.

Aku mulai mengantuk lagi. Efek dari penyakit. Entah kapan aku akan bangun. Semoga saja tidak sampai berhari-hari.


—IMPERFECT—


Aku masih bisa bangun. Sumpah, rasanya bebanku sedikit berkurang. Aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Air mataku bahkan sampai ingin keluar saking senangnya.

Kulirik jam, menunjukkan pukul 4 sore. Aku tidur seharian lagi. Tidak apa, setidaknya masih bisa bangun.

Dan aku baru sadar, ternyata diruangan ini ramai. Ada Julian, Gavin, Gilang, Miya, dan... Wilona? Benar itu Wilona? Atau aku salah lihat?

Kenapa pula Wilona ke sini? Kami saja beda kelas. Akrab saja tidak. Kalau saling kenal mungkin saja. Karena waktu itu Wilona pernah bicara denganku di kantin sebentar.

"Tara udah bangun?" sahut Theo ceria. Aku menoleh padanya dan tersenyum tipis.

Theo tersenyum lebar. Mulai bangkit dari ranjangnya dan menghampiriku. "Lapar gak? Mau makan? Kamu belum makan dari kemarin loh."

"Jul, panggilin suster. Bilang kalau Tara udah bangun." Julian yang disuruh langsung memberi hormat bendera dan segera keluar disusul Wilona.

Theo tidak bicara lagi setelah itu. Ia sibuk mengelus punggung tanganku yang bebas infus. Matanya tak lepas menatapku dengan lembut. Senyum tipisnya terbit bersama dengan munculnya lesung pipi.

Aku balas menatap matanya. Mengulum senyum. Aduh, aku paling lemah soal ditatap kalau sudah begini. Aku tidak bisa lama-lama menatap mata Theo. Mungkin cuma 10 detik, aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.

Walaupun aku sudah melihat ke arah lain, Theo tetap saja menatapku. Aku yang tadi kedinginan seketika merasa sedikit gerah. Pipiku panas. Perutku sedikit geli. Tanganku yang dielus rasanya mulai berkeringat.

"Udah dong natapnya," bisikku. Theo balas berdehem bingung. Kemudian terkekeh pelan.

Kulirik Theo, mau melihat seperti apa ekspresinya. Ia menunduk, tersenyum lebar sampai menampilkan deretan giginya yang rapi. Telinganya memerah. Astaga, lagi salting ternyata.

Tiba-tiba saja tangan Theo mengelus pipiku pelan. Masih dengan senyum lebarnya ia berkata, "lucu banget sih, Ra. Pipinya merah gitu. Padahal cuma aku liatin."

Mamaaaaaaaa.

Aku mengalihkan pandangan ke pintu. Pipiku rasanya makin panas. Jantungku berdetak cepat seketika. Aku mengulum senyum lagi.

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now