14 (Flashback)

119 32 1
                                    

Happy Reading


*Boleh sambil dengerin lagunya ya Akad - Payung Teduh

Aku sudah memutuskan. Keputusan paling tidak berfaedah yang pernah aku pikirkan dan akan lakukan selama 14 tahun hidup. Keputusan yang entah bagaimana endingnya. Kalau bagus, maka baguslah sampai seterusnya. Kalau jelek, bakal jelek seterusnya. Presentasi keberhasilannya juga 50:50.

Aku mau menyatakan perasaanku pada Tara.

Tidak bisa. Aku tidak bisa menahannya. Aku takut kelepasan bicara dan malah membuat canggung. Apalagi aku tidak tahu bagaimana perasaan Tara padaku.

Dia memang selalu baik. Perhatian. Tapi bisa saja karena aku dan dia punya masalah yang sama. Bukan karena Tara punya perasaan yang sama sepertiku.

Semenjak pagi aku uring-uringan. Aku tidak mau menatap Tara. Melihatnya. Atau sekedar dekat dulu dengannya. Takut kelepasan bicara. Tapi tidak bisa! Kami satu kamar. Bagaimana caranya aku menghindari Tara? Mama sama Papa jelas tidak akan memberikanku kamar lain.

Akhirnya aku memutuskan untuk bangun awal. Jam 6 pagi. Bagiku itu sudah sangat awal, karena biasanya aku dan Tara bangun menjelang jam 8 pagi. Dan apa yang aku lakukan jam 6 pagi? Aku keluar dari kamar, berjalan menuju ruangan Dokter Haidar. Seingatku Dokter Haidar lembur malam ini, jadi beliau pasti ada di ruangannya.

Aku mau minta nasehat dari ahlinya. Papa yang cerita kalau Dokter Haidar itu ahli dalam menyatakan perasaan, perempuan yang tidak kenal saja mau menerima dirinya. Aku tidak tahu itu benar atau tidak, tapi apa salahnya bertanya.

Sampailah aku di depan ruangan Dokter Haidar. Tiga kali aku mengetuk, Dokter Haidar mempersilahkan masuk.

"Loh? Theo? Kenapa ke sini pagi-pagi? Ada yang sakit?" tanya Dokter Haidar cemas. Beliau yang semula sedang duduk di kursinya langsung berdiri menghampiriku.

"Gak ada Dok, cuma mau minta nasehat aja," jawabku santai.

Dokter Haidar memiringkan kepalanya bingung. Walaupun begitu, ia tetap mempersilahkan aku duduk di kursi pasien. Ada mungkin 3 menit kami berdua diam. Dokter Haidar sibuk membuat teh hangat, dan aku sibuk memikirkan pertanyaan yang bagus agar mendapat pencerahan sedikit.

"Tapi Dokter janji dulu, jangan cerita sama Papa," ucapku setelah kami diam cukup lama, aku juga sambil mengulurkan jari kelingking. Pinky promise.

"Minta nasehat apa sampai main rahasia sama papamu? Oh! Dokter tebak, pasti ada hubungannya dengan Tara 'kan? Kamu suka dia ya? Terus ke sini mau minta saran gimana cara nembak yang keren. Iya ngak?"

Aku bungkam. Lantas membuat Dokter Haidar tertawa renyah. Aih, padahal aku sudah menyiapkan pertanyaan bagus. Aku mau basa-basi dulu sedikit baru masuk ke intinya. Eh, malah diserang seperti ini. Aku mau tidak mau mengaku. Mengangguk sambil menghindari kontak mata Dokter Haidar.

Dokter Haidar masih tertawa sampai beberapa saat. Setelah duduk kembali ke kursinya, barulah beliau mulai berhenti tertawa. "Anaknya Gibran udah besar rupanya," gumam Dokter Haidar yang masih dapat aku dengar.

Suara detik jarum jam menemani keheningan.  Dinginnya AC membuatku agak menggigil, tapi tidak masalah.

Pagi ini cerah. Cahaya matahari menembus jendela. Suara kicauan burung juga sedikit terdengar dari luar, karena jendela agak dibuka. Pagi yang indah, tapi tak seindah perasaanku pagi ini.

"Pasti papamu cerita kalau Dokter ahli nembak cewek. Iya kan? Jangan percaya. Itu bualan papamu dari jaman kami kuliah. Seumur hidup Dokter, cuma sekali Dokter nembak cewek. Dan kebetulan aja diterima."

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now