9

160 36 0
                                    

Happy reading


Karma itu nyata.

Kemarin kami tidak diomel. Dokter Haidar tidak tahu, Mama juga. Hanya Mama Theo yang tahu. Beliau hanya bilang kalau mau jalan setidaknya izin dulu.

Padahal kalau izin pasti tidak boleh.

Nah, ini karmanya. Theo nge-drop.

Begitu aku bangun tadi pagi, Theo sudah berbaring di ranjang sebelah. Masih tertidur lelap, padahal jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Selang infus tersambung ke tangannya, beberapa alat rumah sakit lainnya, juga alat bantu pernapasan di hidungnya.

Selang beberapa detik setelahnya, pintu terbuka. Menampilkan Dokter Haidar dengan kantung mata yang menghitam. Beliau tersenyum tipis padaku. Aku balas senyum seadanya. Membiarkan Dokter Haidar menghampiriku.

Tak lama setelahnya, dua suster masuk. Pengecekan berkala. Setelah diberi perintah oleh Dokter Haidar, kedua suster tersebut memeriksa Theo. Sedangkan Dokter Haidar mengusap kepalaku.

"Gimana perasaan kamu sekarang?" tanya Dokter Haidar. "Biasa aja," jawabku seadanya.

"Ada yang sakit?" Tanya Dokter Haidar lagi. Aku menggeleng.

Dua suster tadi selesai memeriksa Theo. Sekarang giliranku. Yang satu bagian memeriksa, seperti memeriksa denyut nadi dan kecepatan aliran infus. Yang satunya lagi bertugas mencatat. Tangannya begitu terampil menulis apa yang temannya ucapkan.

Tiba-tiba Dokter Haidar berhenti mengusap kepalaku. Mataku memperhatikan ekspresi Dokter Haidar. Kaku. Kecewa. Sedih. Tapi setelahnya ia tersenyum paksa kepadaku. Senyum kesedihan.

"Kalau ada yang sakit bilang ya? Dua jam lagi Dokter ke sini lagi." Ketiganya pamit keluar. Ruang rawat inap menjadi hampa. Hanya suara detik jam, suara alat yang melekat pada tubuh Theo dan suara angin AC.

Mataku berkeliling memeriksa seluruh ruangan. Kalau diingat-ingat, aku sudah keluar masuk ruangan ini sejak SMP kelas dua. Begitu juga Theo. Dulu, saking seringnya aku nge-drop, tidak ada yang bisa memakai ruang rawat inap ini kecuali aku dan Theo.

Setiap ada pasien baru yang akan rawat inap, pasti tidak pernah mendapat ruangan ini. Ruangan Lili - 2. Bisa dibilang ruangan ini sudah di booking oleh Papa dan ayahnya Theo. Supaya kami tidak perlu susah-susah berpikir akan membawa ke rumah sakit mana kalau ruang rawat inap penuh.

Itu bisa saja dilakukan, karena Papa dan ayahnya Theo juga dokter di rumah sakit ini. Keduanya juga akrab dengan pemilik rumah sakit, jadi gampang saja mendapatkan satu ruangan khusus untuk kami berdua.

Dan ruang rawat inap ini beda dari yang lain. Semenjak di booking tiga tahun lalu, dinding yang awalnya bercat putih jadi memakai wallpaper. Kulkas yang awalnya kecil jadi kulkas berukuran sedang. Yang awalnya tidak ada sofa, meja, ataupun kasur jadi ada. Lemari pakaian yang berisi pakaian aku dan Theo juga ada.

Benar-benar terasa seperti rumah. Tapi hanya satu petak dan cukup luas. Karena ruang rawat inap ini rumah kedua aku dan Theo setelah rumah yang asli. Tidak bisa dihitung berapa kali kami masuk rumah sakit dalam sebulan dan harus menginap. Rekor paling lama kami menginap adalah 2 bulan.

Ruangan ini benar-benar penuh dengan kenangan. Kenangan sedih, bahagia, kesal, dan berbagai rasa yang sering kita rasakan. Mungkin saja lebih banyak kenangan sedihnya. Tapi tak apa, asalkan aku tidak sendiri dan ada Theo, kenangan sedih pun akan berubah menjadi kenangan bahagia.

"Tara?" Suara lemah Theo membuatku cepat menoleh padanya. Ia baru bangun. Segera aku memencet tombol yang ada di samping ranjang untuk memanggil suster.

Aku bangun perlahan, karena kalau tidak kepalaku akan berdenyut sakit. Theo menatapku sayu, pandangannya hampir kosong. Segera aku turun dari ranjang dan duduk di kursi, memegang lengannya yang bebas dari selang infus.

"Baru kali ini aku ngerasain karma," ucap Theo pelan. Matanya fokus menatapku. Ia tersenyum. Walaupun mulut dan hidungnya tertutup alat bantu pernapasan. Matanya mengatakan semuanya. Aku udah bangun, kamu pasti rindu 'kan? Aku gak papa kok, cuma pingsan aja.

Melihatnya tersenyum, air mataku jatuh. Senang karena Theo masih bisa bangun. Tidak lucu kalau terjadi hal-hal tidak diinginkan cuma karena kami kabur ke pasar malam.

"Aku gak dimarah Mama kok. Soalnya sebelum Mama ngomel aku udah pingsan duluan. Hehe." Ucapan santai Theo membuatku geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya dia bercanda disaat seperti ini.

2 menit kemudian, tiga suster datang. Ketiganya memeriksa Theo dengan teliti. Saking telitinya, mereka tidak sadar kalau ada aku yang duduk di kiri ranjang sambil menggenggam tangan Theo. Mereka baru sadar begitu selesai memeriksa.

"Sejak kapan kamu di sini?" tanya salah satu suster.

"Sebelum kakak-kakak datang."

"Masa sih?" gumannya pelan tidak percaya.

"Kakak fokus amat meriksanya sampai gak sadar ada orang duduk di samping aku," sahut Theo.

"Masa sih? Kok Kakak gak sadar?" Temannya memukul pelan bahu suster itu. "Udah, ah. Paling juga karena lo belum tidur dari semalam. Jadi gak sadar," ucap temannya. Suster itu hanya mengerutkan dahi bingung. Dan setelahnya, semua pamit keluar.

Beberapa alat yang melekat pada tubuh Theo dilepas. Menyisakan infus saja.

Salah satu handphone bergetar panjang. Kepalaku tertoleh mencari. Ternyata handphone-ku. Segera aku bangkit mengambilnya–yang ada di seberang ranjangku–dan melihat apa itu. Ternyata Julian. "Siapa?" tanya Theo. "Julian."

Setelah membelakangi Theo, aku menerima panggilan tersebut. "Ra! Lo di mana?" Sambutan pertama yang aku dengar begitu menerima panggilan tersebut. Tidak ada kek, selamat pagi, atau apa kabar gitu.

"Rumah sakit," jawabku seadanya.

"Theo ada di dekat lu gak?" tanyanya yang membuatku menoleh pada Theo. Cowok itu sudah bersandar ke kepala ranjang, melihatku bertelepon dengan Julian.

Aku balik membelakangi Theo. Menjawab iya.

"Kasi hapenya ke Theo bentar. Gue mau ngomong."

"Mau ngapain? Kalau ngajakin Theo jalan gak boleh. Dianya habis nge-drop," jawabku cepat.

"Lah? Nge-drop?" tanya Julian dengan kaget. Mungkin ada sekitar 5 detik ia diam. Kemudian lanjut bicara lagi. "Masih di rumah sakit yang sama 'kan? Gue ke sana sekarang." Dan setelahnya panggilan dimatikan sepihak. Belum juga aku menjawab pertanyaannya tadi.

Setelah meletakkan handphone ke tempatnya semula, aku kembali duduk di kursi tempat tadi duduk. Theo langsung saja mengelus pelan kepalaku. Benar-benar pelan. Seperti kepalaku itu kaca retak yang bisa pecah dengan sentuhan kecil.

Aku memandangnya kagum. Bayangkan saja. Kemarin malam nge-drop dan sekarang paginya masih tetap tampan. Walaupun rambutnya acak-acakan dan bibir pucat, tapi wajahnya tetap tampan. Dia ini manusia atau malaikat?

"Gitu banget mandang aku. Ganteng, ya?" goda Theo. Aku mengangguk. Seperti terhipnotis.

Theo terkekeh. Matanya berusaha menghindari tatapanku. Aku tersenyum lebar melihatnya. Theo salting. Lihat saja telinganya memerah. Yang biasanya menatapku, sekarang menghindari mataku.

Berhasil! Susah tahu membuat Theo salting. Cowok itu kan kerjanya membuatku salting. Mana akunya juga gampang salting.

"Cieee, salting, ya?" Kali ini aku yang balik menggodanya.







tbc

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now