20

102 28 4
                                    

Happy Reading

Setelah kejadian kemarin-kemarin yang dimana Theo melupakanku, aku jadi selalu was-was tiap bangun tidur. Bisa saja sebentar lagi aku yang akan melupakan semuanya. Kalau aku lupa, kemudian Theo juga lupa, siapa yang memberitahu kami?

Kedua orang tua kami dan Dokter Haidar tidak terlalu bisa diandalkan. Mereka jarang menemani kami. Beberapa kali aku bangun tidur, ruangan rawap inap hanya diisi aku dan Theo.

Karena itu aku dan Theo memutuskan untuk membuat catatan. Catatan yang berisi tentang siapa orang yang ada di sebelah. Seperti nama, apa perannya, dan beberapa hal yang perlu diingat.

Catatan tentang Theo seperti ini. Namanya Theo, seumuran kamu, orang yang selalu ada untuk kamu, orang yang sayang sama kamu setelah Mama dan Papa, orang yang hebat, pacar kamu.

Lalu, catatan tentang aku seperti ini. Tara. Orang paling penting dihidup kamu. Perempuan paling cantik kedua setelah Mama. Perempuan yang bakal terus kamu jaga sampai kapanpun. Pacar kamu.

Aku meringis melihatnya. Sedih mengingat alasan diadakannya catatan ini. Aku menatap sendu catatan kecil tersebut. Kemudian menempelkannya pada tiang infus. Jadi begitu bangun dan menoleh pada Theo, aku bisa langsung membacanya. Jaga-jaga kalau aku juga lupa.

Mataku melirik pada Theo. Ia fokus memandang catatan tersebut. Diam bak patung. Tidak bergerak sama sekali. Matanya pun tidak berkedip. Posisinya Theo sedang bersandar pada kepala ranjang. Aku bingung. Bangkit kemudian menepuk bahunya. Cowok itu cepat menoleh. Setelahnya ia melihat catatan tersebut dan kembali menoleh padaku.

Aku menghela napas. Sedikit bingung dengan sikapnya sekarang. Lantas aku mengambil catatan yang ada ditangannya dan menempelkan pada tiang infus seperti yang kulakukan tadi.

"Maaf," sahut Theo pelan.

"Jangan minta maaf. Bukan salah kamu."

"Tapi kamu sakit hati 'kan?" Aku diam. Tidak berani menjawab.

"Aku gak suka dengar kamu minta maaf. Hatiku sakit. Lebih sakit daripada kamu lupain aku. Jadi, jangan minta maaf."

Theo diam. Aku juga tidak bicara lagi. Aku menahan napas. Mencoba untuk tidak terisak. Biarlah aku kecewa dengan sikapnya yang berubah. Lebih baik daripada dia meminta maaf yang bukan salahnya.

Aku kembali ke ranjang. Siap untuk tidur. Lagi.


-IMPERFECT-


Apa ini? Kenapa rasanya tidak nyaman. Sesak. Ribut. Ramai. Rusuh. Banyak yang berbicara, tapi aku tidak dapat mendengar jelas. Aku mau melihatnya. Mau memeriksa, tapi mataku masih berat untuk dibuka. Mau ku abaikan dan lanjut tidur, tapi mereka ribut sekali.

"Bangunin coba." Samar-samar akhirnya terdengar juga.

Tiga detik kemudian bahuku ditepuk pelan. Ada yang memanggilku. Perlahan aku dapat membuka mata. Cahaya lampu yang terang membuatku menutup mata lagi. Silau. Lalu tak lama setelahnya tidak terlalu silau lagi. Aku dapat membuka mata lagi. Yang pertama kulihat adalah sebuah tangan yang menghalangi cahaya lampu. Aku menoleh pada si pemilik tangan. Perempuan. Memakai seragam sekolah. Rambutnya disanggul. Ia tersenyum lebar padaku.

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now