19

95 31 4
                                    

Happy Reading

Terhitung sudah 3 hari aku dan Theo botak. Tiga hari yang kujalani dengan 85% tidur, 5% bengong dan 20% menertawakan diriku dan Theo yang selalu menggunakan bannie. Aku tertawa karena tau apa yang ada di balik bannie itu. Tapi terkadang aku juga sedih tiap melihat cermin. Pantulan diriku dengan bannie di kepala. Sedih mengingat apa yang ada di balik bannie.

Bisa dibilang aku masih galau rambutku sudah tidak bersisa lagi. Terkadang juga aku lupa kalau sudah botak. Beberapa kali aku hendak mengelus rambutku. Tapi begitu tak ada yang bisa ku elus, barulah aku ingat.

Setidaknya aku tidak melihat lagi gumpalan rambut yang selalu di bantal begitu bangun tidur. Ya, dari semuanya, cuma itu kabar baiknya.

Aku tidak tahu apakah ada yang berkunjung selama tiga hari belakangan. Mungkin aku lupa.

Aku melirik Theo yang tidur memunggungiku. Suatu keajaiban baginya, sudah stadium 4 tapi tetap nampak baik-baik saja. Entah aku bisa tenang atau tidak. Takutnya kondisi Theo memburuk tiba-tiba. Tidak sepertiku yang memburuk secara perlahan.

Lima detik setelahnya Theo berbalik. Matanya perlahan terbuka. Bola matanya berpendar kesana kemari. Melihat sekeliling. Tak lama dahinya mengernyit. Sampai matanya berhenti padaku, dahinya tak mengernyit lagi. Berganti dengan tatapan kebingungan.

Aku balas memandangnya bingung. Jarang sekali aku melihat ekspresi itu. Paling baru aku lihat jika Theo sedang tidak bisa berpikir apa yang terjadi saat ini. Cepat setelahnya ia mengalihkan pandangan. Sekarang jadi melihat ke luar jendela.

"Ada apa?" tanyaku pelan. Cukup lama Theo menjawab. Ada mungkin 2 menit, barulah ia memandangku lagi sambil menggeleng. Masih dengan ekspresi tadi.

Pintu terbuka setelahnya. Menampilkan Dokter Haidar, Papa dan ayah Theo. Ketiganya asyik bercanda sambil mencubit satu sama lain. Rusuh. Lupa umur kayaknya. Sampai gak sadar ini anak dan pasiennya memperhatikan kelakuan ketiganya.

"Belum nemu jodoh!" pekik Dokter Haidar kesal.

"Belum nemu apa belum bisa lupain mantan?" goda Papa. Dokter Haidar tidak menggubris keduanya yang sedang tertawa. Matanya langsung menangkap kami yang ketauan basah memperhatikan ketiganya.

"Udah bangun ternyata. Ada yang sakit?" tanya Dokter Haidar lembut. Intonasi suaranya seketika berubah. Dari kasar menjadi lembut.

Papa dan ayah Theo yang mendengar kami sudah bangun segera menghampiri anak masing-masing. Papa langsung duduk di kursi, ayah Theo berdiri di samping bangsal Theo, sedangkan Dokter Haidar memeriksa isi kulkas. Paling juga mencari makanan.

"Anak Papa yang cantik mau makan apa? Ada yang pengen dibeli? Atau mau apa?" Aku menggeleng pelan. Setelahnya melirik pada Theo. Ayah dan anak itu saling bertatap mata. Tidak berbicara sama sekali.

"Mau Theo? Itu anaknya," sahut Papa sambil menunjuk Theo dengan dagunya. Aku mendengus kesal. Papa tertawa.

"Dia kenal aku?" lontar Theo pelan sedikit berbisik. Tapi karena ruangan ini kedap suara dan memang sunyi, berbisik saja tetap terdengar.

Kami semua mendengarnya. Aku juga. Hatiku seketika sedikit perih. Apa maksud pertanyaan tadi? Dia kenal aku?

"Apa maksud kamu?" tanyaku kesal.

(end) imperfect - Taerae Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang