8

167 40 3
                                    

Happy reading

Orang yang melihat kami mungkin mengira kami turis dari negara panas. Bayangkan saja, pakaian kami seperti orang yang tinggal di kutub. Tebal-tebal. Orang-orang saja tidak berpakaian seperti kami. Kebanyakan hanya memakai baju kaos dan celana jeans.

Malam ini memang tidak dingin. Aku dan Theo saja yang memang tidak tahan dingin sehingga berpakaian seperti ini.

Oh iya, ada hal ajaib yang terjadi. Begitu mobil sudah terparkir, dan Theo sudah siap dengan kursi roda–yang memang ada di mobilnya–untukku pakai, kakiku bisa digerakkan kembali. Tidak lumpuh lagi seperti tadi. Kalau begini aku bisa puas berjalan.

Tempat pertama yang kami tuju adalah kios aksesoris. Aku dari bulan lalu ingin sekali membeli cincin couple untukku dan Theo. Padahal bisa saja aku beli secara online, tapi aku tidak tahu ukuran jari Theo. Jadi lebih baik membeli secara langsung.

"Mau cincin yang kayak gimana?" tanya Theo.

"Yang polos aja," jawabku cepat. "Menurut kamu bagus yang ini atau ini?" Tanganku menunjuk satu-persatu cincin yang menarik.

Entah kenapa kalau sudah berurusan dengan milih memilih aku malas. Apalagi pilihannya bagus-bagus. Aku mau pilih semuanya, tapi nanti maruk. Pilih salah satu, sayang yang satunya. Kadang berakhir aku tidak memilih sama sekali. Tapi itu tidak akan terjadi sekarang. Aku harus memilih apapun yang terjadi.

Cincin pertama berwarna perak. Dan ada lambang hati di tengahnya.

Cincin kedua berwarna hitam. Ini cincin couple. Ditengahnya ada bulan sabit, dan pasangannya adalah pelengkap bulan sabit agar menjadi bulan yang sempurna.

Untuk harganya tidak jauh beda. Dan dua-duanya menarik perhatianku. Aku bingung pilih yang karena dua-duanya bagus. Kenapa tidak mungkin beli dua-duanya? Uangnya tidak cukup.

"Bagusan yang mana menurut kamu?" tanyaku lagi.

Cukup lama Theo memperhatikan dua jenis cincin tersebut. Hampir 10 menit mungkin. Soalnya orang yang berjualan sampai duduk kembali saking lamanya Theo memilih.

Kusenggol lengan Theo membuat cowok itu menoleh padaku. Alisnya terangkat satu tanda bertanya. "Udah belum milihnya?" tanyaku.

"Oh iya, milih cincin ini ya? Hehe, maaf, lupa." Aku hanya menggeleng mendengarnya.

Hal yang biasa. Tapi bagi orang lain pasti aneh. Contohnya saja penjual tadi. Ia menatap Theo aneh sambil menggaruk rambut keritingnya. "Bisa-bisanya lupa. Anak zaman ini jadi cepat pikun, keseringan main hape sih."

Aku hanya menanggapi dengan tertawa kecil. Kalau mau dijelaskan bakal susah.

Theo lanjut memilih, dan aku melihat sekeliling. Ramai. Kebanyakan yang datang keluarga kecil. Ada juga yang pasangan–mungkin baru menikah. Aku tidak yakin ada orang pacaran yang mau kencan di pasar malam terbuka seperti ini. Paling tujuan utama mereka adalah mall atau kafe.

"Ini aja. Soalnya buat aku juga 'kan?" Sahut Theo. Aku langsung menoleh padanya. Melihat cincin pilihan Theo.

Cincin pilihan pertama yang berwarna perak. Baiklah sudah ditentukan. Akhirnya keinginanku tersampaikan. Cincin tersebut langsung kami pakai. Theo heboh mengeluarkan ponselnya untuk memotret tangan kami berdua yang sudah dihias dengan cincin.

Tujuan selanjutnya. Makan. Walaupun baru makan malam, tapi aku masih lapar. Theo saja belum makan. Padahal tadi sudah kutawari–walaupun makanan rumah sakit–dia tetap tidak mau. Yasudah mau bagaimana lagi. Tapi nanti aku pasti akan memaksanya makan kalau masih belum makan juga.

Pilihan kami adalah sosis bakar. Tidak terlalu ramai. Karena banyak juga yang berjualan sosis bakar. Theo memilih yang lumayan sedikit pembelinya.

"Mau beli berapa? Ada lagi yang kamu mau gak?"

"Sosis bakar sepuluh. Pentol kuah satu sama air putih aja."

"Banyak amat sepuluh. Kamu baru makan loh."

"Siapa yang bilang buat aku? Itu sosis bakar tiga buat aku. Sisanya buat kamu." Theo memiringkan kepalanya bingung. "Kok gitu?" tanyanya.

"Kamu kan belum makan. Nanti masuk angin gimana? Mana kamu yang bawa mobil. Aku mana bisa nyetir. Bawa sepeda aja oleng."

"Loh, aku belum makan? Ku kira udah."

Langsung saja kuseret Theo untuk mengantri sosis bakar. Kalau terus bicara begitu yang ada Theo benaran masuk angin karena kebanyakan bicara.

Usai membeli semua yang diinginkan. Kami berputar-putar mencari tempat duduk. Tidak mungkin di pasar malam seperti ini tidak ada tempat duduk. Kalau mau lesehan, kami tidak punya tikar, nanti celana kotor dan basah.

Ada mungkin 5 menit kami mencari, dan akhirnya ketemu juga. Di dekat tempat kami parkir mobil. Langsung saja kami duduk di sana. Memakan sosis bakar sambil melihat langit malam yang penuh bintang.

"Theo," panggilku. Cowok itu berdehem, kemudian memusatkan pandangannya padaku.

"Tadi sebelum jalan jujur aku lemes banget. Gak mampu jalan. Baring aja lemes. Tapi, pas kita mulai naik mobil terus sampai di sini, rasanya aku jadi sehat. Gak ada sakit, lemes atau apapun itu. Benar-benar kayak orang biasanya."

"Efek aku gak pernah ke pasar malam mungkin? Terus... Karena ada kamu juga?" Theo cengengesan. Tidak menyangka aku akan berkata demikian. Aku juga. Rasanya ucapan itu langsung keluar begitu saja. Aku jadi malu. Berakhir lah kami tertawa berdua.

"Jadi hari ini spesial dong. First time ke pasar malam, terus jalannya sama aku?"

Aku mengangguk. Dibalas senyum lebar oleh Theo. Dengan lembut cowok itu mengelus pipiku. "Belajar gombal dari mana kamu? Julian ya?" Aku menggeleng. "Dari kamu lah. Siapa lagi?" jawabku percaya diri.

Kami lanjut makan sambil mengobrol ringan. Tidak memperhatikan waktu yang entah sudah jam berapa. Terserahlah. Kapan lagi aku jalan malam dengan Theo kalau bukan hari ini? Soalnya Mama pasti tidak mengizinkan kami keluar malam.

Ponsel Theo bergetar. Segera ia memeriksanya. "Siapa?" tanyaku. Wajah Theo berubah pucat. "Dokter Haidar? Mama kamu?" tanyaku lagi.

"Pulang dulu. Nanti di mobil aku cerita," ucap Theo cemas.

Aku tidak bertanya lagi. Segera membereskan sisa-sisa makanan kami dan segera masuk ke mobil. Satu yang bisa kupikirkan. Kami ketauan. Tidak ada orang di ruang rawat inapku. Entah Mama atau Dokter Haidar yang memeriksaku, karena hanya dua orang tersebut yang sering berkunjung.

Semua sudah beres. Bergegas kami masuk ke dalam mobil. Theo juga tergesa-gesa menghidupkannya. "Tau kan kalau ponselku dipasang GPS sama Mama. Biar Mama tau aku di mana." Aku mengangguk.

"Tadi Mama datang mau jenguk kamu, sekalian jemput aku pulang. Taunya pas di dalam kamu gak ada, aku juga gak ada. Jadilah Mama meriksa aku ada di mana. Aku lupa matiin ponsel tadi. Maaf." Aku diam. Oh, kupikir Mama atau Dokter Haidar, ternyata mamanya Theo. Tapi tetap saja kami ketauan.

"Barusan Mama nge-chat, nanya kamu di mana. Entah Mama mikirnya aku jalan sendiri ke pasar malam gak bawa kamu atau malah bawa kamu. Dan Mama lagi otw nyamperin kita."

"Kalau nanti kena marah aku udah ada seribu alasan, jadi tenang aja."




tbc

Gaes, maaf kalau kedepannya agak jarang update 😭🙏🏼

Soalnya aku baru masuk sekolah dan langsung diserbu banyak kegiatan. Tapi aku usahain tetap update. Jangan lupa diingatin yah🙏🏼

Btw nama fandom kita, ZEROSE(?) ZEROZE(?) Gimana menurut kalian?

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now