23

174 30 8
                                    

Happy Reading


Acara lamaran mendadak tadi membuatku mengingat banyak hal. Dulu, saat Theo menyatakan perasaannya juga menggunakan lagu akad, tapi liriknya diganti. Bukan istriku, tapi milikku. Ia juga bernyanyi sambil bermain gitar. Untungnya kali ini sukses, tidak seperti dulu yang terhalang karena hujan.

Cincin yang dibawa Theo sudah tersemat di jariku. Tak henti aku menatapnya sambil bersandar pada bahu Theo. Senyumku juga tidak luntur. Senyum tipis yang menandakan rasa senang dan lega.

Tak lama setelahnya pintu diketuk dan terbuka begitu saja. Serempak kepalaku dan Theo tertoleh. Para orang tua + Dokter Haidar masuk. Semuanya cengengesan menatap kami. Mereka sepertinya menguping dari luar.

Aku jadi malu. Memilih untuk menunduk sambil menyembunyikan muka. Theo malah sebaliknya. Cowok itu tertawa saja melihat ekspresi para orang tua + dokter Haidar.

"Baring dulu sini. Dokter mau periksa bentar."

—IMPERFECT—

"Pa, cerita dong. Gimana Papa, Om sama Dokter Haidar ketemu pertama kali? Terus masih bisa temenan sampai sekarang," tanya Theo usai pemeriksaan.

Ayah Theo yang tadi sedang tertawa bersama Papa cepat menoleh. "Tumben," jawabnya singkat.

"Ya, mau tau aja. Kok bisa langgeng temenan."

"Gak juga kok. Kita sempat kepisah habis wisuda. Papa di lempar ke Sulawesi. Jaman itu kita lagi perang dingin malah," ucap ayah Theo.

"Mana ada kita perang dingin. Adanya si Gibran yang ngambek karena dikirim ke Sulawesi sedangkan gue sama Haidar di sini," sela Papa.

"Benar tuh. Seminggu sebelum keberangkatan gak mau ketemu kita. Dianterin ke bandara aja gak mau," tambah Dokter Haidar.

"Papamu itu ngambekan. Entah kenapa mamamu betah dengan sifatnya itu."

"Jangan buka kartu lah!"

Papa dan Dokter Haidar tertawa kencang. Puas sekali bapak-bapak itu menertawakan sahabat mereka. Yang ditertawakan memasang wajah cemberut. Tambah cemberut lagi karena istrinya juga ikut tertawa.

"Walaupun gue ngambekan juga kalian betah temenan sama gue dari jaman SMP," bela ayah Theo.

"Iyalah. Kan lo gak punya temen. Kasihan. Yaudah kita temenin," ujar Papa. Makin jadilah Papa dan Dokter Haidar tertawa. Dan makin cemberut saja wajah ayah Theo.

Kalau aku tidak salah ingat, Theo pernah cerita. Papanya itu memang cocok jadi target bully. Dia dan mamanya saja sering begitu di rumah. Jadi, kalau keluarganya saja begitu, tidak heran kalau temannya malah lebih parah.

"Tapi kita ini trio paling kompak loh. Temenan dari SMP sampai kuliah dan kerja bareng. Kemanapun pasti bertiga. Jajan bertiga. Jalan bertiga. Kena hukum bertiga. Pokoknya selalu bertiga. Sampai dapat julukan trio BHG alias trio BaHaGia. Bagas, Haidar, Gibran. Karena kemana-kemana kita pasti buat orang bahagia."

"Sampai kuliah kita masih sering ngumpul. Kebetulan atau apa, kita ngambil kedokteran di satu kampus dan kita semua keterima. Kepisah pas ngambil spesialis aja," jelas Dokter Haidar. Papa dan ayah Theo mengangguk.

"Tapi dari semua, yang paling ngenes itu Haidar. Gue sama Gibran udah nikah, anak kita udah besar, lo nya masih sendiri. Belum move on apa?" ujar Papa.

Ayah Theo menyenggol lengan Papa. "Harap maklum lah. Ditinggal nikah. Kalah salip."

"Nah itu. Pas kita nyuruh lamar ya langsung lamar. Ini dibiarin. Ya kena salip lah!"

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now