7

160 41 0
                                    

Happy reading

Harusnya hari ini aku dan Theo akan jalan-jalan ke kafe kucing yang baru buka. Tapi malam sebelumnya aku malah nge-drop. Kepalaku sakit tiba-tiba, sampai aku tidak mampu untuk berdiri. Dan akhirnya pingsan.

Dari percakapan Dokter Haidar dan Mama, katanya penyakitku semakin parah. Beberapa pengobatan mungkin bisa menghambatnya, tapi tidak untuk waktu lama.

Sekarang aku hanya bisa pasrah. Kapan Tuhan akan mengambilku, aku sudah siap. Mungkin itu yang terbaik agar aku tidak merasakan sakit lagi. Aku harap orang-orang yang aku tinggalkan akan kuat, apalagi Theo. Dia pasti orang terakhir yang mengikhlaskanku pergi.

Semenjak pagi sampai sore, Theo selalu menemaniku. Ia bercerita banyak hal, mencoba menghiburku. Kadang-kadang ia juga membuat lelucon yang pasti membuatku tertawa. Hanya aku yang mengerti maksud leluconnya. Karena menurut orang lain lelucon Theo itu garing.

"Bosen gak sih di sini terus? Mau ke taman gak? Atau sekedar jalan doang?" tawar Theo padaku. Aku menggeleng. Malas mau jalan. Mending aku berbaring saja.

"Ayolah, kamu gak bosan apa cuma di kamar seharian? Orang sakit aja perlu liat dunia luar biar gak kepikiran soal penyakitnya terus. Aku temanin kok. Gak akan biarin kamu sendiri."

"Maleees. Masa keliling rumah sakit? Udah sering, gak ada yang berubah. Cuma gitu-gitu aja. Tamannya juga gak ada yang baru. Aku udah bosan, mending di kamar aja tidur." Semoga Theo mengerti.

Theo membuang napas kasar. Matanya bergerak-gerak melihat sekeliling ruangan. Mungkin sedang memikirkan sesuatu. Aku tidak ambil peduli, mengalihkan pandangan pada televisi yang menyiarkan kartun Spongebob.

Aku fokus menonton. Tapi lama kelamaan aku jadi mengantuk. Hawa dingin AC dan keadaan ruangan yang tenang membuatku menguap beberapa kali. Susah payah aku menahan diri untuk tidak tertidur. Theo masih di sini, tidak sopan kalau aku harus tidur sekarang kalau masih ada tamu.

"Kamu lemes gak? Bisa jalan?" Mataku langsung terbuka lebar. Hilang sudah rasa kantuk itu.

Aku menoleh pada Theo sambil memandangnya bingung. Bertanya kenapa lewat tatapan mata. Theo tersenyum tipis padaku. Ia kemudian mengusap rambutku pelan. Sebelum menjawab pertanyaanku, Theo terdiam memandangku. Tapi kemudian lanjut tersenyum.

"Dekat sini ada pasar malam. Mau pergi gak? Tapi diam-diam. Kamu gak usah khawatir sama Dokter Haidar, biar aku yang urus."

Mataku berbinar. Sumpah. Dari semua ajakan yang pernah Theo tawari, ini ajakan yang paling membuatku semangat. Kapan lagi ke pasar malam? Diam-diam lagi. Lantas aku mengangguk semangat. Theo tertawa pelan dan lanjut mengusap kepalaku.

"Kita buat rencana dulu biar gak ketahuan." Aku mengangguk senang. Kemudian aku duduk agar kami dapat berdiskusi lebih leluasa (juga lebih rahasia).

"Jangan lupa alasan kalau nanti gak sengaja ketauan." Theo hanya tertawa mendengarnya.

—IMPERFECT—

Sesaat tadi rasanya seperti dalam film action yang sedang menjalankan misi secara diam-diam. Jantungku berdebar kencang. Bukan apa, kakiku masih agak lemas. Kalau aku pergi dengan kursi roda nanti ketauan, jadi aku memaksakan berjalan sambil dibopong Theo.

Aku juga tidak keluar dengan pakaian rumah sakit. Karena malam ini cukup dingin, Theo memakaikanku sweater juga jaketnya. Untuk celana tidak diganti, hanya kulapisi dengan rok panjang saja. Dan untuk kepala, aku memakai bannie buatan mamanya Theo. Kalian ajaibnya apa? Kami tidak ketahuan. Baik suster maupun penjaga administrasi di depan.

Begitu keluar dari rumah, kakiku tidak kuat lagi. Aku jatuh. Tapi kesadaranku masih ada, hanya kaki saja yang seperti lumpuh. Kami berdua tertawa, karena menurutku lucu saja badanku langsung merosot ke bawah.

"Kamu gak dingin cuma pakai kemeja doang?" tanyaku pada Theo.

Cowok itu menggeleng. Aku kemudian menaiki punggungnya. Theo akan menggendongku dipunggungnya.

"Di mobil ada jaket. Tenang aja." Aku mengangguk.

Entah aku yang memang ringan atau memang Theo yang terlampau kuat. Dia menggendongku sambil berlari kecil ke arah parkiran mobil yang ada di bawah tanah. Tidak capek apa?

Sampai di mobil. Setelah memastikan aku duduk dengan nyaman dan aman, mobil mulai dijalankan. Tidak perlu takut, Theo sudah punya SIM A dan dia lihai mengendarai mobil. Aku sudah sering dibawahnya menggunakan mobil.

"Kayaknya suster tadi baru kerja, deh. Dia gak ngenalin kamu. Padahal kamu gak ada pakai masker atau topi atau apa gitu buat nutupin muka." Kami berdua tertawa.

Kejadian tadi memang di luar nalar. Tidak ada yang akan mengira begitu kami keluar lift untuk kabur, ada seorang suster yang hendak masuk ke dalam lift. Kami sempat bersitatap dengannya beberapa detik. Tapi suster itu tidak menggubris kami, hanya menatap bingung kemudian masuk ke dalam lift.

"Ahaha. Sumpah. Tadi aku udah pasrah kalau kita bakal kena omel. Kalau benaran tadi kita kena cegat, sia-sia kita buat rencana. Belum juga ke tempat tujuan udah harus menjalankan plan B."

"Padahal rencana yang kamu buat udah sempurna. Keluar sehabis suster ngecek keadaan rutin. Soalnya kalau malam paling suster ngeceknya besok subuh. Mama juga kebetulan di rumah gak bisa jagain aku."

"Papa kamu sakit, ya, katanya?"

Aku mengangguk. "Pasti Mama yang bilang terus nyuruh kamu nemenin aku. Bener 'kan?" tanyaku jahil. Theo tertawa. "Oh jelas. Kalau mama kamu gak nyuruh aku gak bakal nemenin kamu."

Aku merenggut. "Kok gitu?" tanyaku agak kesal. Theo melirikku, sudut bibirnya terangkat berbarengan dengan suara kekehan.

Lampu merah. Mobil berhenti. Theo sekarang 100% memandangku. Dia diam saja membuatku makin kesal. Aku balas memandangnya tajam. Apasih maunya. Aku memandangnya garang, dia malah balas memandangku lembut. Tatapan matanya tulus.

Astaga. Jangan masuk ke dalam perangkap. Aku kan sedang kesal. Tidak boleh berubah ekspresi sekalipun Theo senyum lebar menatapku. Tidak boleh! Ayo Tara! Kamu pasti kuat!

Lima detik setelahnya, Theo tertawa pelan. Kepalanya menunduk, sedangkan arah pandangnya ada pada tanganku–yang sedang berpangku tangan. Aku masih menatapnya kesal. Sejauh ini aku berhasil mempertahankan ekspresi kesalku.

Lampu hijau. Suara klakson mobil membuat fokus Theo sekarang ke mobil. Segera ia menjalankan mobil agar pengendara di belakang tidak mengamuk.

Sekarang aku didiami. Cowok ini kenapa sih?

Aku membuang pandangan ke arah jendela. Memperlihatkan kerlap-kerlip lampu jalan yang berwarna-warni. Banyak pedagang kaki lima yang diserbu orang-orang. Jalan juga ramai. Tidak heran. Sekarang malam Minggu.

Aku terus memperhatikan keadaan luar, sampai aku merasa tanganku mulai hangat karena digenggam. Reflek aku menoleh ke samping. Theo fokus melihat ke depan. Tangan kanannya di setir, tangan kirinya menggenggam tanganku.

"Ciee ngambek. Aku gak mungkin gitu. Mau mama kamu nyuruh atau gak juga aku tetap nemenin kamu. Kalo boleh sekalian nginap aja biar aku gak bolak-balik."

Aih. Aku sebenarnya tidak mau salting. Tapi Theo menggenggam tanganku sambil diusap. Pipiku panas.

Aku tidak membalas ucapan Theo. Kembali memandang jalanan luar mencoba menghilangkan salah tingkah ini.






tbc

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now